TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) minta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pemerintah menjelaskan secara detail soal penetapan tersangka korporasi. “Harus bisa menjelaskan bagaimana korporasi bisa menjadi tersangka. Karena perusahaan itu benda mati, yang menjalankan itu orang. Apalagi kami perusahaan publik yang terdiri dari banyak investor," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Isaka Yoga di Jakarta, Kamis, 7 September 2017.
Menurut Isaka, pelaku pasar saat ini mengaku belum mengetahui secara jelas korporasi seperti apa yang dapat dijadikan tersangka oleh KPK. "Ini suatu yang baru dan kami belum disosialisasikan, definisi tersangka itu seperti apa, lalu yang mewakili di pengadilan itu siapa, hukumannya apa," ujarnya.
Pernyataan Isaka merespons satu kasus korupsi korporasi yang dibawa ke persidangan yakni korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan menyatakan pihaknya akan mulai menjerat korporasi yang diduga terlibat tindak pidana dengan menerapkan unsur pasal-pasal dari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Lebih jauh, Isaka menilai bahwa penetapan tersangka korporasi dengan mengacu pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana menjadi ancaman dan risiko bagi pelaku pasar modal. "Ini berpotensi jadi ancaman. Apalagi saat ini banyak perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang berurusan dengan KPK,” katanya.
Hal senada diungkapkan pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar bahwa dalam menangani perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki publik, harusnya lebih hati-hati karena bisa merugikan banyak pihak. Apalagi saat ini ada beberapan perusahaan yang melantai di BEI, direksinya tengah tersangkut kasus korporasi. "Untuk itu KPK harus hati-hati juga, jangan sampai ada kepentingan-kepentingan politik yang masuk dan mengambil keuntungan," katanya.
Jika benar terjadi tindak pidana, menurut Fickar, maka penegak hukum harus terlebih dulu mencari orang di dalam perusahaan itu yang melakukan tindak pidana korupsi. "Jika ada kerugian dan tidak bisa ditanggung, barulah masuk ke tingkat korporasinya. Jadi parameternya jelas," katanya.
ANTARA