TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan utang yang naik akan digunakan untuk belanja produktif. Menurut dia, produktif yang dimaksud adalah membangun infrastruktur serta meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
"Pinjam utang itu jelas basisnya ada belanja yang besar dengan penerimaan yang tidak memenuhi belanja sehingga diperlukan deficit financing. Dan itu tentu berdasarkan perencanaan yang cukup matang," kata Hadiyanto di Kompleks DPR, Jakarta, Jumat, 21 Juli 2017.
Simak: DPR: Jangan Sampai Berutang untuk Bayar Utang
Sampai dengan Juni 2017, utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp 3.706,52 triliun. Utang secara neto naik Rp 34,19 triliun dibandingkan utang sampai dengan Mei lalu. Hingga Mei, menurut data Kementerian Keuangan, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 3.672,33 triliun.
Utang pemerintah tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2.979,50 triliun dan pinjaman sebesar Rp 727,02 triliun. Adapun peningkatan utang sebesar Rp 34,19 triliun berasal dari penerbitan SBN neto sebesar Rp 35,77 triliun dan pelunasan pinjaman neto sebesar Rp 1,59 triliun.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, penambahan utang neto selama 2017 saja mencapai Rp 191,06 triliun. Penambahan itu berasal dari kenaikan SBN sebesar Rp 198,89 triliun dan pelunasan pinjaman sebesar Rp 7,83 triliun.
"Tambahan pembiayaan utang memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah, dan dana desa, serta belanja sosial," kata Robert dalam rilisnya di situs resmi Kementerian Keuangan, Jumat, 21 Juli 2017.
ANGELINA ANJAR SAWITRI