TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyarankan agar DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan. Sebab, draf beleid tersebut tidak memuat kebijakan baru alias mengatur hal-hal yang sudah berlaku. Bahkan draf itu berpotensi tumpang-tindih dengan peraturan yang sudah ada.
"Kami belum melihat hal yang tidak tercakup (soal perkelapasawitan) pada aturan yang sudah ada baik dalam perindustrian, perdagangan, maupun pertanian. Semua sudah diatur," ujar Airlangga dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, seperti dikutip Antara, Senin, 17 Juli 2017.
Baca: BPDP Kelapa Sawit Teken Kerja Sama dengan Produsen Biodiesel
Airlangga mencontohkan, RUU itu membagi perizinan industri pengolahan menjadi tiga jenis, yaitu izin usaha perkebunan untuk pengolahan produk primer, izin pengolahan produk lanjutan, dan izin usaha jasa perkelapasawitan. Izin itu, menurut catatannya, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Ia memastikan perizinan saat ini sudah baik. Begitu pula kebijakan tentang kelapa sawit lainnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution berpendapat serupa. Dia menyebutkan, RUU Perkelapasawitan mengatur hal yang termuat dalam Undang-Undang Perkebunan serta Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Simak: Pemerintah dan DPR Sepakat Lanjutkan Pembahasan RUU Jabatan Hakim
Namun DPR berkukuh melanjutkan pembahasan. Menurut Ketua Panitia Kerja RUU Perkelapasawitan Firman Soebagyo, pemerintah tidak boleh mencampuri tugas parlemen lantaran beleid ini adalah insiatif DPR. "Kami tetap akan jalan terus. Pemerintah tak boleh mengintervensi."
Berdasarkan draf undang-undang yang salinannya diperoleh Tempo, beleid itu bakal mengatur insentif pemodal kelapa sawit. Bantuan yang akan dikucurkan negara antara lain pengurangan pajak penghasilan badan serta pembebasan atau keringanan bea masuk impor barang modal dan operasi. Regulasi itu juga akan membolehkan pembukaan lahan gambut untuk sawit.
Aliansi lembaga masyarakat yang terdiri atas Human Rights Working Group, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, serta Yayasan Auriga menolak RUU itu. Mereka menganggap draf regulasi itu bertentangan dengan semangat perlindungan lahan gambut yang didengungkan pemerintah. "Peraturan pemerintah mengatur setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budaya di area gambut," kata peneliti Yayasan Auriga, Syahrul Fitra.
ROBBY IRFANY | AHMAD FAIZ | ROBBY IRFANY