TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, menilai tindakan Freeport yang mengancam pemerintah Indonesia dan akan membawa kasus kontrak karya ke arbitrase sebagai arogansi.
Menurut dia, dengan ancaman itu, Freeport merasa sejajar dengan pemerintah Republik Indonesia. "Ini karena kontrak karya mendudukkan pemerintah sejajar dengan Freeport," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Selasa, 21 Februari 2017.
Freeport berencana menggugat pemerintah ke arbitrase nasional jika tidak menemukan titik tengah dari perselisihannya dengan pemerintah. Freeport memberikan waktu 120 hari terhitung sejak Jumat, 17 Februari 2017, untuk berunding. Jika tidak ada kesepakatan, Freeport mengancam menggugat ke arbitrase internasional.
Hikmahanto melihat kejanggalan dalam hal itu secara hukum. Menurut dia, Freeport telah salah memposisikan pemerintah Indonesia secara sejajar. Pasalnya, kedudukan pemerintah ada di dua dimensi.
Baca:
IHSG Dibuka Menguat 4,33 Poin
Saham Freeport di Bursa New York Anjlok
Baca Juga:
Pertama, pemerintah sebagai subyek hukum perdata. Pemerintah kerap memiliki posisi subyek hukum perdata dalam kegiatannya, seperti melakukan pengadaan barang dan jasa. "Sebagai subyek hukum perdata maka kedudukan pemerintah memang sejajar dengan pelaku usaha," katanya.
Kedua, Hikmahanto meneruskan, pemerintah sebagai subyek hukum publik posisinya di atas pelaku usaha dan rakyat. Fiksi hukum yang berlaku adalah ketika pemerintah membuat aturan, semua orang dianggap tahu dan pemerintah memaksakan aturan untuk diberlakukan dengan penegakan hukum. "Bila rakyat atau pelaku usaha berkeberatan dengan aturan yang dibuat, mereka dapat memanfaatkan proses uji materi, baik di MK maupun MA," katanya.
Simak:
Freeport Ultimatum Jokowi Soal Kontrak, Ini Alasannya
Ini Alasan Freeport Menolak Izin Pertambangan Khusus
Hikmahanto menuturkan, dua dimensi inilah yang tidak dihiraukan oleh Freeport melalui kontrak karya yang dijalin. Freeport seolah hanya melihat pemerintah sebagai subyek hukum perdata. "Tidak heran bila Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum Negara Indonesia dengan kontrak karya. Bila demikian, apa bedanya Freeport dengan VOC di zaman Belanda?" ujarnya.
Karena itu, dia menilai, kontrak karya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, seperti yang tertuang dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menyebutkan perjanjian akan terlarang bila bertentangan dengan hukum. "Perlu dipahami pemerintah sebagai subyek hukum perdata tetap harus tunduk pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah sebagai subyek hukum publik," katanya.
INGE KLARA SAFITRI