TEMPO.CO, Toronto - Perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, mengklaim belum bisa mengekspor konsentrat hingga Jumat, 10 Februari 2017 kemarin, setelah mereka dilarang ekspor sejak 12 Januari lalu. Induk usaha PT Freeport Indonesia tersebut menyatakan hingga kemarin mereka belum mencapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia terkait izin baru pertambangan.
Juru Bicara Freeport, Eric Kinneberg, menyatakan akan melanjutkan negosiasi dengan pemerintah Indonesia, namun dengan catatan. Mereka bersedia untuk mengikuti regulasi soal izin usaha pertambangan yang baru hanya jika sesuai dengan kontrak karya yang saat ini mereka anut. “Kondisi ini adalah kritis bagi Freeport Indonesia yang memiliki rencana investasi jangka panjang,” ujar Kinneberg kepada kantor berita Reuters, Jumat, 10 Februari 2017.
Baca : Pemerintah Setujui Permohonan Freeport dan AMNT Jadi IUPK
Pernyataan Freeport tersebut disampaikan sesaat setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kemarin mengumumkan telah menerbitkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sementara bagi Freeport. Dengan terbitnya IUPK sementara, Freeport bisa mendapatkan izin ekspor konsentrat.
Pemerintah telah melarang Freeport untuk ekspor konsentrat sejak 12 Januari lalu seiring target untuk mendorong realisasi pembangunan pabrik pemurnian (smelter) sektor tambang. Namun Freeport menyatakan, larangan ini berdampak pada menurunnya produksi tambang di Grasberg, Papua, sekitar 70 juta pound tembaga per bulan.
Baca : PT Timah Rogoh Kocek Rp6,5 Miliar untuk Biaya Eksplorasi
Harga saham Freeport menguat 3,6 persen pada Jumat kemarin, atau melambat setelah perusahaan mengumumkan tak mencapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia. Sebelumnya harga saham Freeport sempat melonjak 7,5 persen setelah pemerintah Indonesia mengumumkan telah menerbitkan IUPK sementara bagi Freeport.
Kinneberg menyatakan izin usaha tambang yang baru mensyaratkan Freeport harus membayar pajak dan royalti. Selain itu perusahaan juga wajib melepas 51 persen saham Freeport Indonesia kepada pemerintah, atau naik dari sebelumnya hanya wajib 30 persen. Hingga kini, Freeport baru mendivestasi 9,36 persen sahamnya.
Freeport sebelumnya sudah mengancam dengan turunnya produksi tambang Grasberg, maka akan ada pengurangan tenaga kerja hingga 30 ribu orang. Pemangkasan tenaga kerja akan dilakukan jika izin ekspor tidak didapatkan hingga pertengahan Februari 2017 atau pekan depan.
Baca : Pemerintah Berikan PT Freeport Status IUPK
Manajemen Rio Tinto, perusahaan tambang multinasional asal Australia-Inggris, menyatakan sedang mempertimbangkan untuk keluar dari kerjasamananya dengan Freeport di Indonesia. Rio Tinto memiliki 40 persen saham di tambang Grasberg, Papua, untuk produksi di atas level tertentu hingga 2021, dan 40 persen atas semua produksi tambang Grasberg setelah 2021. Alasannya, karena mereka menganggap tambang di Papua diliputi ketidakpastian.
Tambang Grasberg milik Freeport sebelumnya telah dilarang ekspor selama enam bulan karena sengketa pajak pada 2o14. Perusahaan akhirnya setuju membayar royalti lebih besar, tambahan divestasi saham, serta membayar US$ 115 juta untuk pembangunan smelter baru guna mengurangi pajak konsetrat.
Izin tambang Freeport di Indonesia berlaku hingga 2021 dengan opsi perpanjangan. “Apakah mereka akan setuju atau tidak, kami akan lihat. Juga apakah akan ada insentif, kami akan lihat,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot.
REUTERS | ABDUL MALIK