TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2016 bakal bertambah. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan penambahan defisit anggaran akan dilakukan hati-hati. "Kami memperkirakan meningkat 0,2 persen," kata Sri Mulyani di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, 16 September 2016.
Menurut Sri Mulyani, penambahan defisit untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mengawal kegiatan prioritas pemerintah. Selain itu, kenaikan defisit dipicu juga dengan adanya tambahan cost recovery (dana talangan) di sektor sumber daya alam.
Sementara di sisi lain, kata Sri Mulyani, belanja kementerian dan lembaga (KL) diperkirakan akan terealisasi tepat waktu. Kementerian Keuangan memprediksi penyerapan belanja KL mencapai 97,1 persen. "Ini merupakan berita baik. Artinya pemerintah semakin baik dalam merencanakan dan mengeksekusi anggarannya," ucapnya.
Sementara dalam hal cost recovery, risiko yang muncul ialah kemungkinan melebihi dari yang sudah dialokasikan di APBN-P 2016. Anggaran negara memberi jatah cost recovery sebesar US$ 8 miliar. Sedangkan realisasi hingga Juli lalu mencapai US$ 6,5 miliar.
Potensi tambahan pengeluaran akan mengurangi penerimaan negara bukan pajak dari sektor sumber daya alam. "Ini yang perlu kami tambahkan dari kemungkinan resiko di APBN 2016," kata Sri Mulyani.
Agustus lalu, pemerintah mematok defisit anggaran ada di level 2,5 persen terhadap Produk DB. Sebelumnya defisit ditargetkan 2,3 persen saja atau Rp 296,7 triliun. Bila bertambah 0,2 persen, diperkirakan defisit pada akhir 2016 ada di posisi 2,7 persen.
Presiden Joko Widodo meminta untuk mengendalikan cost recovery dari sektor minyak dan gas agar penerimaan negara bisa optimal. Jokowi juga menginstruksikan kepada kementerian dan lembaga agar konsisten melakukan penghematan belanja. "Kami menjaga pelaksanaan APBN 2016 sehingga momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga," tuturnya.
ADITYA BUDIMAN