TEMPO.CO, Jakarta - Industri logam di Kota Tegal, Jawa Tengah, dalam beberapa bulan terakhir sedang lesu. Satu per satu pemilik industri logam rumahan berhenti berproduksi lantaran sepinya order yang masuk.
“Biasanya satu bulan bisa menggarap 50 unit mesin bor, sekarang paling hanya 10 bahkan tidak ada sama sekali,” kata Sukamto Rahmat, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) S.U. Anwari, Kota Tegal, saat ditemui Tempo di bengkel produksi logam di Kelurahan Mangkukusuman, Kota Tegal, Jumat, 5 Agustus 2016.
Menurut Sukamto, sepinya order ini lantaran banyak produk dari luar negeri seperti Cina. Produk logam dari Cina tersebut membanjiri pasar di Glodok, Jakarta. Biasanya, para perajin logam memang mengirimkan produknya ke kawasan perdagangan di Jakarta tersebut. “Sekarang banyak bakul (tengkulak) di sana (Glodok) yang menolak. Alasannya karena sudah banyak dari Cina dan harganya lebih murah,” katanya.
Sebelumnya, para perajin logam di kawasan ini memang sudah ketar-ketir. Pasalnya, mereka mengaku tidak siap menghadapi pasar bebas. Menurut Sukamto, proses produksi logam di tempatnya tidak secanggih di negara lain, seperti Cina, Malaysia, dan Singapura. "Meskipun kami sudah pakai alat yang menggunakan tenaga listrik, tapi masih kalah jauh sama luar negeri. Di sana semua sudah terkomputerisasi," ujarnya.
Kondisi ini, kata dia, diperparah dengan mahalnya bahan baku. Misalnya, harga besi cor yang biasanya dibeli Rp 10 ribu per kilogram naik jadi Rp 15 ribu kilogram. Aluminium dan kuningan juga naik. “Kuningan sekarang Rp 45 ribu, semula hanya Rp 40 ribu,” ujar dia. Sukamto memprediksi kenaikan harga bahan baku ini disebabkan karena harga minyak yang tidak stabil.
Akibat lesunya produksi logam ini, banyak perajin yang menutup usahanya. Sukamto mengungkapkan, dari sekitar 50 orang anggota KUB SU Anwari, saat ini hanya ada 10 bengkel yang bertahan. “Itu saja mereka sudah kembang-kempis,” katanya. Para karyawan yang bekerja di bengkel milik Sukamto juga satu per satu terpaksa dirumahkan. Dia yang sebelumnya memiliki 25 karyawan, sekarang tersisa hanya delapan orang.
Hal serupa juga dialami Neno, 57 tahun. Perajin yang bengkelnya tak jauh dari tempat Sukamto ini mengaku terus mengurangi produksinya. Dia hanya mengerjakan sisa borongan dari perajin lain. Padahal, tahun lalu dia bisa mendapatkan order hingga 1.000 unit lebih setiap bulannya. “Biasanya bisa habis 10 ton besi cor setiap bulan,” katanya.
Dia berharap, ada perhatian dari pemerintah setempat untuk membantu para perajin. Setidaknya, mempromosikan hasil produksi mereka agar bisa mendapatkan order dari perusahaan luar daerah.
MUHAMMAD IRSYAM FAIZ