TEMPO.CO, Jakarta - Nilai ekspor Juni 2016 mencatat angka ekspor tertinggi sejak Juli 2015. Pada bulan ini, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 12,92 miliar atau meningkat 12,18 persen dibanding Mei 2016. Sedangkan nilai impor Juni mencapai US$ 12,02 miliar. Neraca perdagangan pada Juni pun tercatat surplus US$ 900,2 juta.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin, nilai ekspor sejak Juli 2015 belum dapat menembus angka US$ 12,92 miliar.
“Sebelumnya hanya 11 miliar, bahkan 10 miliar,” kata Suryamin saat ditemui setelah merilis angka ekspor-impor di kantor BPS, Jumat, 15 Juli 2016. “Kalau kita perhatikan dari bulan Januari 2016 dari bulan ke bulan itu terus merangkak naik.”
Suryamin menambahkan, terdapat dua penyebab utama yang membuat angka ekspor bulan ini lebih tinggi dari sebelumnya. Pertama, harga komoditas andalan Indonesia ada yang sudah meningkat bila dibandingkan Mei.
“19 komoditas sudah meningkat harganya. Bahkan ada yang sudah meningkat dibandingkan tahun lalu,” ujar Suryamin.
Suryamin menilai volume ekspor pada bulan Juni yang meningkat juga menjadi penyebab kenaikan angka ekspor. “Volume ekspor kita di bulan Juni ini naik 2,71 persen,” katanya.
Meski begitu, Suryamin mengatakan hal tersebut belum dapat mendongkrak angka ekspor pada semester I 2016 bila dibandingkan periode yang sama pada 2015.
Dalam rilisnya, BPS menyebut total ekspor migas tercatat naik 23,92 persen, dari US$ 957,9 juta menjadi US$ 1.187,1 juta. Sedangkan, total ekspor non-migas juga meningkat 11,12 persen, yaitu dari US$ 20.556,4 juta menjadi US$ 11.730,0 juta.
Golongan barang yang mengalami peningkatan ekspor terbesar pada Juni 2016 adalah benda-benda dari besi dan baja yang meningkat 128,73 persen.
Sedangkan nilai impor Indonesia Juni 2016 yang mencapai US$ 12,02 miliar menandakan nilai impor naik 7,86 persen bila dibandingkan bulan sebelumnya. Sebaliknya, angka tersebut menandakan angka impor turun 7,41 persen dibandingkan Juni 2016.
Menurut Suryamin, peningkatan nilai impor itu terjadi karena bertepatan dengan bulan puasa yang menyebabkan kenaikan jumlah kebutuhan masyarakat. Meski begitu, ia menilai impor barang konsumsi pada bulan ini bukan hanya pada sektor sandang dan pangan saja melainkan pada sektor persenjataan. “Barang konsumsi itu ada tank, amunisi, ini digunakan sebagai barang konsumsi karena peluru itu habis,” katanya.
BPS mencatat peralatan mekanik dan peralatan listrik menjadi golongan barang yang paling banyak diimpor bulan ini. Suryamin berpendapat hal ini wajar karena keduanya termasuk barang modal yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan perkembangan usaha kecil.
“Untuk industri masih ada yang memerlukan bahan baku impor untuk diproses kembali, ini bisa meningkatkan industri pengolahan manufaktur,” kata Suryamin.
ARDITO RAMADHAN | BAGUS PRASETIYO