TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Komisoner Pengawas Bank Otoritas Jasa Keuangan Irwan Lubis mengatakan bahwa peraturan OJK nomor 45/POJK.03/2015 dibuat bukan tanpa unsur fleksibilitas. "Tidak usah khawatir. Bukan buat keadaan lebih buruk," kata Irwan dalam diskusi berjudul Ngobrol @Tempo, bertajuk "Tata Kelola Pemberian Remunerasi: Upaya Menyelamatkan Industri Perbankan", di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis 9 Juni 2016.
Irwan melanjutkan, dalam penerapan aturan ini, motivasi dari pegawai tetap ingin dijaga, jadi bukan semata-mata ingin menahan gaji. Ia mengatakan yang diharapkan adalah bank bisa mengelola resiko dengan baik, agar bank tersebut sehat.
Keluarnya aturan ini, kata Irwan, juga tak terlepas dari pengalaman krisis keuangan di Amerika Serikat tahun 2008. Krisis saat itu di antaranya dipicu oleh berlombanya para bankir mendapatkan bonus besar, sehungga mereka melakukan aktivitas bisnis berisiko tinggi, tanpa memikirkan akibatnya.
Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Banking School Subarjo Joyosumarto mengatakan bahwa bank adalah lembaga berisiko tinggi. Oleh karena itu pengelolaan risiko sangat ditentukan manajemen puncak, terutama direksi dan komisaris. "Harus dipelototin gerak-gerik mereka. Ada keberhasilan diakui, ada resiko kena punishment."
Subarjo juga menyinggung kejadian di Amerika Serikat tahun 2008, di mana saat krisis datang, bank jatuh, banyak direksi dan komisaris terima bonus, karena di kontrak mereka tertulis hal itu. "Itu tidak fair. Peraturan ini direksi, dan komisars hati-hati kelola risiko," ujar Subarjo.
Direktur Utama Bank Tabungan Negara Maryono mengatakan pihaknya sebagai pelaku, melihat peraturan OJK ini bukan sebagai momok. Hal ini dianggap sebagai langkah pembinaan dari regulator, agar pihaknya disiplin mengelola risiko. "Karena risiko lebih penting diperhatikan, daripada hasil," ucapnya.
Maryono menjelaskan, bahwa 10 tahun lalu, jajaran direksi dan komisaris bank mungkin bekerja hanya ingin mencapai target dengan cepat, pertumbuhan yang luar biasa tanpa melihat risiko. "Ternyata di belakang, ada akibatnya," kata Maryono.
BTN, menurut Maryono, belum menerapkat aturan OJK tentang remunerasi itu. Namun upaya ke sana telah dilakukan dengan mengundang konsultan untuk hal itu. "Untuk cara hitung, mana yang masuk variabel, mana yang masuk tetap, dan berapa persentasenya.”
DIKO OKTARA