TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa ini menguat 10 poin menjadi Rp 13.149 dibandingkan posisi sebelumnya pada Rp 13.159 per dolar Amerika Serikat.
"Sentimen positif mulai mendukung laju rupiah terhadap dolar AS. Kondisi mata uang Negeri Paman Sam itu juga cenderung tertekan di pasar global setelah data manufaktur Amerika Serikat menurun," kata ekonom dari Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, di Jakarta, Selasa, 3 Mei 2016.
Ia mengemukakan bahwa indeks manufaktur Amerika Serikat pada April mencapai 50,8, menurun dari periode Maret di 51,8. Kondisi harga minyak yang rendah dan dolar AS yang kuat membebani industri di AS.
"Data AS itu datang setelah data manufaktur negara-negara Euro yang justru membaik sehingga menambah tekanan pelemahan dolar AS," katanya.
Dari dalam negeri, lanjut dia, laju inflasi yang diumumkan stabil masih menjadi sentimen positif bagi rupiah. Menjelang akan dirilisnya angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia kuartal I 2016 yang positif juga menambah dukungan bagi mata uang domestik.
Badan Pusat Statistik mencatat pada April 2016 terjadi deflasi sebesar 0,45 persen, atau yang terbesar sejak 2000. Dengan deflasi April sebesar 0,45 persen, inflasi tahun kalender Januari-April 2016 tercatat 0,16 persen dan laju inflasi secara tahunan (year on year) 3,6 persen.
"Tetapi perlu diwaspadai jika harga minyak mentah dunia turun, karena biasanya dapat menekan rupiah," katanya.
Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada menambahkan, bahwa laju rupiah masih mampu bergerak di area positif jelang akhir sesi pertama perdagangan.
"Harapan pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal I 2016 menjadi salah satu faktor yang menopang," katanya.
ANTARA
Baca juga:
Ahok Buka Rahasia Mundurnya Rustam Effendi, Ternyata...
PDIP Siapkan Risma Tantang Ahok, Ada yang Menghindar?