TEMPO.CO, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat sedikitnya ada 10 poin yang bermasalah pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (tax amnesty). Pertama adalah dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak dalam pasal 23 A bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 pasal 23 dan 23 A tentang pengelolaan APBN dan Pemungutan Pajak. "Pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa, bukan mengampuni," ujar Staff Advokasi Fitra, Gulfino Che Guevaratto di Sekertariat Nasional Fitra di Mampang Prapatan, Jakarta, Selasa, 8 Maret 2016.
Kedua, ada skala prioritas revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menurut Fino, RUU Pengampunan Pajak juga mendegradasi UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan sistem pemungutan pajak. "Proses RUU Pengampunan pajak ini terkesan dipaksakan karena belum ada naskah akademiknya, sehingga potensi melanggar aturan sebelumnya akan sangat besar," ujarnya.
Kemudian yang ketiga, menurutnya, RUU ini bertentangan dengan UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003. Lalu yang keempat adalah pada 1964 dan 1984 sistem pengampunan pajak selalu gagal karena saat ini tidak sejalan dengan sistem dan mekanisme tata cara pemungutan pajak.
Kelima, RUU Pengampunan Pajak berpotensi menjadi fasilitas 'karpet merah' bagi konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi dan financial, dan pencucian uang. "RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia," ujarnya.
Keenam, pengampunan pajak ini akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan antara elit dan rakyat biasa karena sistem itu dianggap tidak adil. Hal tersebut tercermin dari pengampunan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan dan sanksi dengan berupa uang. "Justru orang kaya mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah," ujar Fino.
Lalu yang ketujuh, RUU ini tidak akan efektif mengukur jumlah harta perseorangan dan badan. Karena dalam RUU ini, pengampunan akan didasarkan pada persentase jumlah harta secara keseluruhan untuk merumuskan berapa besar jumlah uang tebusannya nanti.
Kemudian yang kedelapan, jumlah uang muka dalam RUU pengampunan ini sangat kecil dan tidak berdampak pada peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak. Tercatat uang tebusan hanya 3 persen, 5 persen dan 8 persen. "Seharusnya tanpa sanksi pidana, uang tebusan diatas 25 persen Ini adalah kebijakan akal-akalan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu di saat dalam negeri membutuhkan uang segar untuk pembiayaan infrastruktur," ujar Fino.
Kesembilan, amanat pembentukan Satuan Tugas Pengampunan Pajak langsung di bawah Presiden ini tidak akan efektif dan tumpang tindih dengan Dirjen Pajak dan penegak hukum lain. Sistem data dan informasi juga tidak transparan dan akuntabel. Selain itu jika pembiayaan menggunakan APBN semakin memboroskan negara.
Dan yang terakhir, adanya potensi korupsi berupa ruang transaksional sangat tinggi. Hal ini tercermin dengan pengelolaan yang diserahkan kepada Satgas karena sistem pengawasan, transpransi dan akuntabilitasnya tidak ada. "Justru ruang ini akan menjadi proses transpaksional yang legal dengan memanipulasi perhitungan uang tebusan dan lain lain," ujar Fino.
Karena pertimbangan itu, Fitra menyatakan menolak RUU Pengampunan Pajak. "100 persen Fitra menolak usulan RUU Pengampunan Pajak, khusus menyoroti hal ini, FITRA mencatat ada banyak masalah dalam RUU tersebut," ujar Manajer Advokasi Apung Widadi di kesempatan yang sama.
ARIEF HIDAYAT