Baru pada Januari 2013 datang tawaran dari Kedutaan Besar Jepang untuk melakukan studi kelayakan secara penuh. “Sejak saat itu kewenangannya kami transfer ke Kementerian Koordinator Perekonomian,” ujar Bastary. Studi kelayakan tahap pertama menelan biaya US$ 3,5 juta yang berasal dari hibah Jepang. Studi berlangsung mulai Januari 2014 hingga Mei 2015.
Menurut Andrinof Chaniago, saat itu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, rencana proyek tersebut dibatalkan karena menggunakan duit negara. Namun rencana itu hidup lagi setelah Menteri Rini menandatangani MoU studi kelayakan dengan Cina. “Sekarang, kalau swasta mau bangun itu menguntungkan. Menggerakkan ekonomi tanpa menimbulkan masalah,” kata dia.
Staf Khusus Menteri BUMN, Sahala Lumban Gaol, mengimbuhkan, proyek kereta cepat bisa dipercepat pengerjaannya jika menggandeng Cina. Dalam paparan studi kelayakan Jepang di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pada April 2015, kata dia, proyek baru bisa dimulai pada 2019. Belakangan, Cina menawarkan proyek bisa dimulai pada September tahun ini dan selesai dalam waktu tiga tahun.
Namun seorang pejabat di Kementerian Koordinator Perekonomian mengingatkan Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Sofyan Djalil, agar proyek sebesar kereta cepat itu tak diikat dengan MoU. Atas dasar itu, Menteri Sofyan kemudian mengusulkan untuk mengadu studi kelayakan Cina dan Jepang.
Dalam rapat kabinet terbatas pada pertengahan Juli lalu, Presiden Jokowi akhirnya memutuskan akan memilih tawaran Jepang atau Cina melalui beauty contest. Sebelas konsultan independen telah diundang menjadi penilai. Adapun pemenangnya akan diumumkan pemerintah pada akhir Agustus ini. “Mungkin ini situasi politik tingkat tinggi. Saya mau bilang apa?” kata Muraoka.
KHAIRUL ANAM
Selanjutnya >> Menuju Kereta Peluru