TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia terancam mengalami krisis energi dalam beberapa tahun mendatang. Penyebabnya, terjadi kesenjangan antara permintaan energi yang tinggi dan pasokan produksi minyak di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil mengatakan permintaan energi pada 2010 adalah 3,3 juta BOEPD. Permintaan energi itu dalam semua bentuk, seperti minyak, gas, dan batu bara. Pada 2025, permintaan energi akan meningkat menjadi 7,7 juta BOEPD. Dari jumlah itu, saat ini proporsi energi dari minyak dan gas sekitar 47 persen.
"Dari sisi minyak dan gas, kalau Indonesia tak berbuat apa-apa dengan kebutuhan energi yang terus meningkat, dan pasokan yang terus menurun, maka Indonesia akan jadi net importir," kata Dipnala, Selasa, 5 Mei 2015, seusai temu media tentang pelaksanaan konferensi IPA di Hotel Dharmawangsa, Jakarta.
Krisis energi di Indonesia sudah mulai menunjukkan gejalanya. Pada 2015 diperkirakan Indonesia kekurangan pasokan minyak dan gas 2,4-2,5 juta BOEPD. "Kalau tidak ada penemuan cadangan baru sekitar 11-12 tahun lagi selesailah, Indonesia akan kehabisan oil and gas dan jadi net importir," kata dia.
Perkiraan di atas berdasarkan reserve requirement ratio minyak dan gas. Menurut Dipnala, rasio yang ideal seharusnya 100 persen. Artinya 100 persen produksi keluar, 100 persen cadangan baru masuk. "Tapi dengan produksi 47 persen, berarti ini sudah menggerogoti reserve. Lama-lama habis," kata Dipnala.
Di sisi lain, penemuan cadangan minyak baru juga butuh waktu relatif lama, yakni sepuluh tahun mulai dari eksplorasi hingga produksi. Ancaman krisis energi di Indonesia inilah yang akan menjadi tema utama IPA Convention and Exhibition ke-39. Acara ini akan dilangsungkan di JCC pada 20-22 Mei 2015.
Presiden IPA Craig Stewart mengatakan sangat penting bagi semua pemangku kepentingan untuk bekerja bersama-sama mencari solusi dalam mencegah defisit energi di masa depan. Menurutnya, berbagai tantangan yang dihadapi pelaku di industri ini di antaranya kerumitan birokrasi, ketidakpastian hukum, sulitnya akses pemanfaatan lahan, dan kurangnya insentif untuk proyek-proyek masif dengan biaya tinggi.
"Ini mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam kegiatan eksplorasi," kata Craig.
AMIRULLAH