TEMPO.CO, Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) diprediksi masih lesu menjelang akhir tahun. Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan indeks jeblok karena inflasi Amerika Serikat yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan ekspektasi pasar.
“Kan ekspektasinya 7,2 persen (inflasi). Bulan kemarin (November) 7,7 persen. Kalau seandainya (inflasi Desember) di atas 7,2 persen, ini mengindikasikan Bank Sentral Amerika kemungkinan besar masih akan tetap agresif menaikkan suku bunga,” ujar Ibrahim ketika dihubungi Tempo, Selasa, 13 Desember 2022.
Ibrahim menuturkan data inflasi Amerika akan mempengaruhi kebijakan The Fed terhadap suku bunga. Pasar, kata dia, terus menantikan keputusan The Fed perihal kenaikan suku bunga tahun depan. Di sisi lain, Ibrahim mengatakan tantangan pasar saham pada tahun mendatang adalah resesi.
Baca Juga: IHSG Hari Ini Diprediksi Menguat, Berikut Proyeksi Saham TLKM, BUMI hingga BBCA
"Harus diingat bahwa kemungkinan besar 2023 akan terjadi resesi. Nah kalau terjadi resesi kemungkinan bank sentral akan lebih agresif lagi (menaikkan suku bunga),” ujarnya.
Ibrahim melanjutkan, isu mengenai perlambatan ekonomi 2023 terus menjadi trending topik baik di media lokal maupun media internasional. Perlambatan ini dikhawatirkan sudah dimulai pada kuartal akhir 2022.
Ia menjelaskan indikasi perlambatan ekonomi tampak dari saham-saham yang berbasis teknologi rontok. Masalah tersebut turut berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
“Itu sudah terlihat dari PHK besar-besaran. Banyak pengamat yang mengatakan PDB kuartal keempat ini kemungkinan besar bisa saja di bawah 5 persen. Nah ini kemudian yang harus hati-hati,” ucap Ibrahim.
Dari Eropa, Ibrahim mengatakan ancaman tampak dari krisis energi. “Karena saya bilang tahun ini tahun-tahun menentukan di mana Eropa juga masuk musim dingin yang ekstrem, kekurangan energi dan listrik, bahkan di sana juga ada bank penghangat,” tuturnya.
Kondisi tersebut akanmendorong inflasi di Inggris dan Amerika Serikat yang begitu besar. “Nah ini perlu ada kewaspadaan juga dari OJK. Sebagai badan pengawas, OJK harus mengawasi lebih ketat lagi,” katanya.
Meski demikian, Ibrahim melihat ada saham-saham yang masih cukup moncer untuk dikoleksi. Misalnya, saham farmasi.
DEFARA DHANYA PARAMITHA
Baca juga: Kapitalisasi Pasar BEI Sepekan Menguap Rp 306 Triliun Setelah IHSG Turun 4,34 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.