TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia meminta kepada perbankan di wilayah Sulawesi Selatan untuk mewaspadai lonjakan kredit bermasalah pada pembiayaan perumahan, terutama untuk tipe di bawah 70 meter persegi.
Causa Iman Karana, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulawesi Selatan, mengatakan industri properti di kawasan ini masih sangat menjanjikan karena pertumbuhan ekonomi yang pesat serta kebutuhan perumahan yang sangat tinggi.
Tingginya potensi tersebut, lanjutnya, mendorong perbankan untuk meningkatkan portofolio kredit pemilikan rumah (KPR) yang mencapai Rp12,27 triliun pada akhir Maret 2015. “Portofolio KPR di Sulsel meningkat 8,42 persen bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin 27 April 2015.
Bila dirinci, KPR didominasi oleh pembiayaan rumah dengan tipe di bawah 70m2 dengan nilai Rp7,93 triliun, meningkat 8,81 persen dari setahun sebelumnya. Adapun rumah di atas 70m2 memiliki outstanding KPR Rp4,33 triliun, meningkat 7,33 persen dari setahun lalu.
Namun, data BI menunjukkan terjadi lonjakan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) pada rumah tipe di bawah 70 m2, yang mencapai 4,17 persen. “Memang masih di bawah ambang 5 persen, tetapi ada kecenderungan peningkatan,” jelasnya.
Causa menduga peningkatan NPL pada KPR disebabkan dua kebijakan pada industri pertambangan dan perhotelan. Pertama, larangan ekspor mineral mentah berdasarkan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kebijakan tersebut sempat menyebabkan operasional tambang berhenti beroperasi. Hal tersebut berimbas pada industri turunan tambang, seperti transportasi, logistik, akomodasi dan lain lain juga mengalami penurunan pendapatan.
“Akibatnya repayment capacity dari para pegawai untuk membayar KPR jadi terhambat,” ujarnya.
Adapun kebijakan kedua yang berpengaruh ke KPR adalah himbauan bagi instansi pemerintah dan BUMN untuk tidak melakukan rapat di hotel. Hal ini menyebabkan pendapatan hotel turun signifikan dan berimbas kepada supplier barang dan jasa perhotelan.
Akibatnya, pendapatan para pegawai yang terkait di industri jadi berkurang sehingga pembayaran cicilan KPR pun terhambat. “Selain itu juga ada masalah akibat kenaikan harga BBM yang menurunkan daya beli masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, kenaikan suku bunga KPR yang dipicu oleh naiknya BI Rate sebesar 200 basispoint hingga sempat menyentuh 7,75 persen menurut Causa tidak banyak berpengaruh terhadap NPL.
“Kalau BI Rate pengaruhnya tidak terlalu tinggi karena transmisinya tidak terlalu cepat,” jelasnya.
Causa optimistis NPL di pembiayaan perumahan dapat ditekan setelah industri pertambangan dan perhotelah beroperasi normal. “Itu hanya shock saja karena industri tambang sudah mulai beroperasi dan sudah tidak ada larangan rapat di hotel,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) Sulsel Arief Mone mengatakan industri properti di Sulawesi Selatan pada 2015 diyakini bakal tetap cerah dengan kecenderungan pertumbuhan pada segmen hunian menengah ke atas.
Dia menjelaskan pertumbuhan ekonomi Sulsel yang diproyeksi berada pada kisaran 7,5-8,5 persen pada tahun ini diyakni bakal diikuti oleh gairah sektor properti yang mampu tumbuh sekitar 15 persen.
"Rumah dengan segmen menengah ke atas cenderung menjadi prioritas bisnis kami di REI, apalagi landed house masih menjadi primadona," ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.