TEMPO.CO, Surabaya - Penerapan ancaman pengenaan paksa badan (gijzeling) diklaim efektif untuk menjerat para penunggak pajak. Gijzeling diakui berpengaruh pada jumlah penerimaan pajak.
"Ternyata efektif dengan pemberitaan gijzeling beberapa waktu lalu secara nasional. Pencairan tunggakan pajak meningkat 400 persen," kata pejabat pengganti Direktur Penyuluhan dan Pelayanan (P2) Humas Direktorat Jenderal Pajak, Wahju K. Tumakaka, kepada Tempo di Polda Jawa Timur, Jumat, 13 Maret 2015.
Gijzeling merupakan salah satu bentuk paksa badan wajib pajak yang belum melunasi utang. Gijzeling diatur dalam Undang-Undang Penagihan Pajak Nomor 19 Tahun 2000 dengan surat paksa.
Wahju menuturkan pihaknya tak menargetkan berapa orang yang akan dikenai gijzeling setiap tahunnya. "Tidak pakai target, karena yang diharapkan adalah kepatuhan umum wajib pajak, baik karena alasan normal maupun penagihan," ujarnya. "Bahkan targetnya kalau bisa enggak usah di-gijzeling."
Alumnus Harvard University itu menyebutkan, secara nasional, pajak tertanggung yang bisa terkumpul hingga tahun ini berkisar Rp 20 triliun. Namun gijzeling tidak bisa secara langsung dilakukan karena sekurang-kurangnya dibutuhkan waktu dua tahun ditambah proses penagihan tiga bulan.
"Prosesnya panjang. Setelah ada ketetapan pajak, wajib pajak bisa mengajukan keberatan atau banding. Kalau sudah ada putusan final tapi belum lunas, baru kami gijzeling," ucapnya.
Untuk itu, Wahju menegaskan perlunya sinergi antara kepolisian, Direktorat Jenderal Pajak, serta Bea dan Cukai melalui nota kesepahaman dalam menegakkan hukum di bidang kepabeanan, cukai, perpajakan, serta tindak pidana lain.
"Sinergi ini diharapkan memberikan dampak psikologis bagi wajib pajak, tapi tidak untuk menakut-nakuti atau mengancam," katanya. Apabila terdapat hambatan dalam penagihan atau penyidikan, ujar Wahju, Dirjen Pajak membutuhkan bantuan kepolisian.
ARTIKA RACHMI FARMITA