TEMPO.CO, Banyuwangi - Pakar durian Malasyia, Abdul Azis Zakaria, menilai pemerintah Indonesia tak serius mengembangkan durian lokal. Ketidakseriusan ini, menurut Abdul, terlihat dari luasan tanaman "si raja buah" itu.
Luas tanaman durian di Indonesia baru mencapai 60 hektare. "Indonesia baru mengembangkan 15 persen durian klon dan 85 persennya lokal," kata Abdul dalam diskusi di Banyuwangi, Sabtu 7 Maret 2015.
Kebijakan pemerintah Indonesia tentang pengembangan bisnis durian, menurut Abdul, berbeda dengan Thailand dan Malasyia yang wilayahnya justru lebih kecil dari Indonesia. Luas tanaman durian di Thailand telah mencapai 200 ribu hektare dan Malasyia 120 ribu hektare.
Sebanyak 90 persen produk di Thailand adalah durian hasil kloning dan 10 persennya lokal. Dengan demikian, kata Azis, kebutuhan durian di Indonesia memang belum mampu dipenuhi petani sendiri. "Oleh karena itu impor durian dari Thailand sangat besar," katanya.
Peneliti di Pusat Riset Durian Universitas Brawijaya, Luthfi Bansir, memberi anggapan serupa. Menurut dia, pemerintah belum serius mengembangkan potensi durian lokal. Akibatnya, justru durian montong asal Thailand yang menguasai pasar Indonesia. "Durian montong jadi raja di Indonesia," kata Luthfi
Setiap tahunnnya, kata Luthfi, Indonesia mengimpor durian montong sebanyak 19 ribu ton. Durian montong tersebut terkemas bagus di supermarket. Berbeda dengan durian lokal yang banyak dijual di pinggir jalan.
Padahal, menurut Luthfi, durian Indonesia punya banyak keunggulan. Yakni punya spesies yang bervariasi, khususnya 30-an varian durian merah. Sayangnya, Indonesia terlambat melepas varietas unggul durian yang baru dilakukan 1984.
Hingga 2015, Indonesia baru bisa melepas 91 varietas unggul. Sedangkan Thailand, telah mengembangkan durian sejak 1884 dan bisa melepas 172 varietas hingga 2015. Dengan Malasyia pun, Indonesia terlambat 50 tahun. "Malasyia telah mengembangkan durian sejak 1934 dan melepas 200 varietas," katanya.
IKA NINGTYAS