TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Misbakhun, menyarankan mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media Indar Atmanto melakukan upaya hukum luar biasa dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung sebagai upaya untuk mencari keadilan atas upaya kriminalisasi terhadap Indar maupun perusahaan.
“Untuk mencari keadilan yang sejati atas upaya kriminalisasi yang dialami oleh dirinya dan perusahaan yang dipimpinnya. Sebab, ini menunjukkan gagalnya pihak penegak hukum memahami praktik bisnis yang sudah dijalankan secara benar,” kata Misbakhun, Kamis, 26 Februari 2015.
Pernyataan Misbakhun itu menanggapi seminar yang bertajuk “Kriminalisasi Korporasi Menghambat Pembangunan-Studi Kasus IM2” yang digelar di Jakarta hari ini.
Menurut Misbakhun, upaya PK ini penting diambil oleh Indar Atmanto agar jangan sampai praktek bisnis yang dijalankan secara profesional dan sudah sesuai dengan aturan serta regulasi yang ada, tapi gagal dipahami oleh penegak hukum dan dianggap sebagai pelanggaran hukum. “Sudah banyak ahli hukum bisnis yang menilai ini adalah kasus kriminalisasi,” ujar Misbakhun.
Kasus IM2, anak perusahaan PT Indosat Tbk ini cukup menarik perhatian masyarakat, karena ditengarai banyak kejanggalan, antara lain adanya pengabaian surat Menteri Komunikasi dan Informatika yang telah menyatakan perjanjian bisnis Indosat-IM2 sudah sesuai dengan ketentuan perundangan. Begitu pula Indar juga divonis atas sesuatu yang tidak didakwakan.
Guru besar ilmu hukum pidana Universitas Trisakti, Andi Hamzah, juga mengungkapkan hal senada. Menurut Andi, ada dua putusan kasasi Mahkamah Agung yang saling bertentangan terhadap mantan Dirut IM2. “Fakta hukum ini menjadi bekal untuk mengajukan PK,” ujar Andi.
Menurut dia, PK ini penting agar ada jalan keluar bagi kepastian dunia usaha dan keadilan bagi Indar. Karena Indar divonis atas sesuatu yang tidak didakwakan dan dia tidak memperkaya diri sendiri, tidak dijatuhi uang pengganti, tapi divonis korupsi.
Saat ini ada dua putusan kasasi yang saling bertentangan, yaitu antara putusan Mahkamah Agung Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang memutuskan Indar dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun, disertai denda sebesar Rp 300 juta dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun yang dibebankan kepada IM2, dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014 yang isinya menolak kasasi yang diajukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perkara IM2 yang menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara 28 Januari 2014 sebelumnya juga telah menguatkan keputusan PTUN yang telah memutus tidak sah dan menggugurkan keputusan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp 1,3 triliun. Dengan putusan Tata Usaha Negara MA telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, alat bukti yang digunakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam semua tingkatan sebagai dasar perhitungan unsur kerugian negara, tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan tidak dapat digunakan.
“Karena ada dua putusan MA yang bertentangan dan juga ada khilafan yang nyata dari putusan hakim, maka Indar harus mengajukan PK sesuai Pasal 263 & 266 KUHAP,” kata Andi.
Di tempat terpisah, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Franky Sibarani meminta agar aparat penegak hukum segera menyelesaikan kasus yang menimpa beberapa investor asing yang sudah menanamkan modalnya sesuai aturan dan regulasi di Indonesia untuk menjaga iklim investasi yang kondusif.
“Penyelesaian kasus hukum ini penting bagi investor sebagai jaminan iklim kepastian berinvestasi di Indonesia,“ ujar Franky. Dia mencontohkan kasus yang menimpa IM2 dan Chevron.
"Sebaiknya hal ini segera diputuskan bila memang tidak ada ketentuan kebijakan atau undang-undang yang dilanggar,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat teknologi informasi, Onno W. Purbo, membuat petisi online pada situs Change.org atau www.bebaskanIA.tk yang meminta pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini dan membebaskan Indar. Sudah lebih dari 36 ribu masyarakat dalam dan luar negeri berpartisipasi dalam petisi online yang digagas Onno tersebut.
GRACE GANDHI