TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) Hanung Budya memperkirakan kenaikan harga bakal menurunkan volume konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Walhasil, ancaman jebolnya kuota BBM bersubsidi bisa ditekan dari 1,9 juta menjadi 1,7 juta kiloliter.
“Minimal bisa turun 250 ribu kiloliter,” ujar Hanung di Jakarta, Selasa, 18 November 2014. Ia menjelaskan, kenaikan harga tidak berarti kuota BBM bersubsidi tak jebol. “Jadi, tetap defisit.” (Baca: BBM Naik, Organda Berencana Mogok Beroperasi)
Hanung menanggapi kebijakan kenaikan harga bahan BBM sebesar Rp 2.000 per liter yang berlaku mulai Selasa, 18 November 2014. Harga Premium menjadi Rp 8.500 per liter dan solar Rp 7.500 per liter. Kenaikan harga bertujuan meningkatkan pemanfaatan anggaran belanja dengan mengalihkan subsidi dari sektor konsumsi ke produksi.
Pertamina sebelumnya memperkirakan kuota BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter tahun ini akan jebol. Kekurangannya, sebanyak 1,9 juta kiloliter, meliputi Premium 1,2 juta kiloliter dan solar 500 ribu kiloliter. Perusahaan pelat merah itu pun menambah pasokan BBM nonsubsidi. “Ini untuk mengantisipasi perpindahan konsumsi Premium ke Pertamax," tuturnya. (Baca: Ketua MPR Setuju Kenaikan Harga BBM)
Skenario lain, Pertamina menyiapkan Premium dengan harga keekonomian sebesar Rp 9.200 per liter. Harga itu berdasarkan acuan Mean of Platts Singapore pada Oktober 2014 sebesar US$ 96 per barel. "Itu aksi korporasi," kata Hanung.
Dalam APBN Perubahan 2014, pemerintah dan DPR sepakat memotong kuota BBM bersubsidi dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Berdasarkan perhitungan Pertamina, kuota subsidi itu akan habis pada Desember atau sebelum akhir tahun. Untuk mengatasinya, Pertamina sudah menyiapkan Premium dengan harga keekonomian dan menambah pasokan Pertamax serta solar nonsubsidi.
KHAIRUL ANAM
Berita terpopuler:
Kenaikan Harga BBM, Begini Hitungan Faisal Basri
Jokowi: Harga BBM Naik Rp 2.000 Per Liter
Harga Premium Kini Rp 8.500, Solar Rp 7.500