TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Erani Yustika mengatakan, penurunan outlook peringkat utang indonesia dari positif menjadi stabil merupakan bentuk intervensi lembaga rating terkait dengan keraguan pemerintah tidak segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Indonesia dihukum dengan cara seperti itu karena tidak segera memutuskan kebijakan untuk menaikkan harga BBM,” ucapnya, saat dihubungi Tempo, Senin 6 Mei 2013.
Ia menjelaskan dalam hal ini pemerintah memiliki otonomi pengambilan keputusan untuk mengelola ekonomi domestiknya sehingga lembaga luar tidak berhak mengintervensi. “Amerika saja yang pernah defisit APBN sebesar 10 persen tidak pernah dihukum seperti ini, kita masih dibawah 3 persen ,” kata Ahmad Erani.
“Dalam hal ini saya melihat ketidakadilan, kelihatan sekali pemerintah harus segera mengambil keputusan sesuai keinginan mereka.” Hal ini dilihat dari pernyataan S&P bahwa selama pemerintah masih belum menanggapi tekanan fiskal dan eksternal dengan kebijakan yang tepat waktu maka peringkat Indonesia akan kembali turun.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ini menilai ketika BBM dinaikkan, tidak serta merta mengurangi defisit APBN. Karena menurutnya neraca defisit tidak hanya dipengaruhi sektor migas, namun juga sektor pangan dan manufaktur. “Oleh karenanya, ketiganya harus diatasi,” ucapnya.
Untuk membuat ketiga sektor tersebut tetap stabil, Ahmad Erani mengaku INDEF sudah menawarkan opsi-opsi ke pemerintah. Di antaranya penghematan konsumsi BBM, pajak progresif di sektor otomotif, mengurangi impor pangan dengan menaikkan pajak impor. “Pemerintah mesti membentangkan berbagai macam opsi, harus tegas serta konsekuen menangani risiko kebijakan yang diambilnya,” katanya.
LINDA TRIANITA
Topik Terhangat:
Pemilu Malaysia | Harga BBM | Susno Duadji | Ustad Jefry | Caleg
Baca juga:
Saling Pecat Di Tubuh Kadin Indonesia
Ekspor Gas Rugikan Negara
Bank BUMN Perlu Dimerger
Bakrie Telecom Merugi Rp 97,47 Miliar