TEMPO.CO, Jakarta - Apresiasi mata uang euro ke level US$ 1,31 mengindikasikan peningkatan aksi risk appetite (keberanian investor mengambil risiko). Langkah ini diperkirakan membuka ruang bagi rupiah menguat di bawah 9.700 per dolar Amerika Serikat.
Head of Treasury Research Bank BNI, Nurul Eti Nurbaeti, mengatakan, rupiah berpeluang menguat, meskipun Bank Indonesia kembali mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 5,75 persen. “Tidak adanya data fundamental ekonomi domestik yang akan dirilis pekan ini membuat pergerakan rupiah akan dipengaruhi oleh faktor eksternal,” ujarnya.
Sepanjang pekan ini, rupiah diperkirakan berada dalam rentang 9.650-9.770 per dolar Amerika. Bila harga saham di bursa domestik terus bergerak naik, tidak tertutup kemungkinan rupiah kembali berada di level 9.600. Melemahnya yen hingga level 99 per dolar AS menjadi indikator bahwa kekhawatiran di pasar global mulai meredup.
Hal ini terbukti dengan menguatnya mata uang tunggal Uni Eropa kembali bertengger di atas US$ 1,31. Sebelumnya euro sempat terpuruk hingga ke US$ 1,28. Meski demikian, dari sisi fundamental, Eropa masih belum berubah dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali pulih. “Masih gelap,” kata dia.
Akhir pekan lalu, rupiah ditutup di level 9.713 per dolar AS, yang berarti menguat 37 poin (0,38 persen) dibanding posisi pada pekan sebelumnya di 9.750 per dolar AS. Kebijakan bank sentral Jepang (BoJ) yang sangat agresif memberikan stimulus perekonomian dengan melemahkan yen memberikan optimisme pemulihan global.
Dari faktor domestik, ancaman tingginya inflasi karena kenaikan harga barang, tarif listrik, serta masih adanya ketidakpastian soal pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bisa menjadi hambatan apresiasi rupiah.
PDAT | VIVA B. K