TEMPO.CO, Jakarta - Agus Martowardojo menjadi satu-satunya calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan pemerintah kepada DPR. Setidaknya ada empat alasan mengapa Presiden SBY hanya membawa Agus sebagai calon Gubernur BI. Di antaranya, dia memiliki pengalaman di bidang keuangan dan perbankan, berhasil mengawal fiskal, mampu bersinergi dengan lembaga di luar Kementerian Keuangan, dan memiliki integritas.
Agus dikenal cukup keras dan memegang teguh kebijakan yang dikeluarkan. Namanya mulai mencuat pada 2005 ketika dicalonkan menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, yang sedang dililit kredit macet dan ditangkapnya dirut mereka.
Pinangan pemerintah tidak langsung diterima Agus. Setelah dilobi berkali-kali oleh pejabat di kantor Menteri Negara BUMN, Agus bersedia dengan syarat: pemerintah tidak boleh mengintervensi Bank Mandiri.
Berikut ini daftar kenekatan Agus Martowardojo:
1. Mempublikasi Debitor Bank Mandiri (2006)
Bulan Maret di DPR, Deputi Gubernur BI Siti Ch. Fadjrijah mengungkapkan bahwa PT Bank Mandiri Tbk masuk pengawasan intensif. Alasannya, batas aman kredit (NPL) Bank Mandiri mencapai 24 persen, sementara syarat Bank Indonesia hanya 5 persen. Akibatnya, pelaku pasar ramai-ramai menjual saham Bank Mandiri.
Beberapa bulan kemudian, Agus memulai tradisi baru bagi perbankan Indonesia, yakni mengumumkan nama-nama debitor kakap yang menunggak cicilan kredit. Tindakan itu diambil karena Bank Mandiri dengan aset Rp 255 triliun itu ternyata mengemban kredit bermasalah senilai Rp 27,5 triliun.
Akibat utang kreditor, laba bersih Bank Mandiri tahun 2005 anjlok turun sampai 88,5 persen menjadi Rp 605 miliar. Sangat jauh dibandingkan laba tahun 2004 senilai Rp 5,25 triliun.
Menurut Agus, sekarang sudah bukan zamannya lagi beking-bekingan. ”Tekanan publik akan sangat tinggi terhadap mereka yang tidak kooperatif,” ujar Agus ketika mengumumkan daftar 30 debitor bandel. ”Pemerintah sebagai pemegang saham Mandiri juga marah sekali.”
Tindakan tegas terhadap debitor cukup memberikan keuntungan Bank Mandiri. Agustus 2007, laba semester pertama mengalami kenaikan cukup tajam, yakni 123 persen, menjadi Rp 2,1 triliun. Sebagian besar laba disumbangkan oleh pendapatan dari kredit. Harga saham pun naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 3.100-an per saham.