TEMPO.CO, Denpasar -Salah satu perusahaan tenun ikat di Sidemen, Bali Arta Nadi, merasakan adanya penurunan sekitar 15 persen sejak pertengahan November 2012. "Biasanya di sini menghasilkan sekitar 1000 meter per bulannya," kata I Wayan Suartana selaku pemilik Bali Arta Nadi, Kamis 3 Januari 2013.
Kawi, demikian dia disapa, tidak menggunakan teknologi pengeringan khusus. Benang, sebagai bahan kain, yang telah diwarna, memerlukan waktu paling tidak satu hari penuh di bawah sinar matahari yang terik, untuk benar-benar kering.
Benang yang kering inilah nantinya akan ditenun hingga menghasilkan gulungan kain dengan motif yang diinginkan. Umumnya, pencelupan atau pewarnaan dilakukan satu kali untuk mendapatkan dua warna. Jika ingin tiga warna, benang yang sama dicelup untuk kedua kalinya dalam keadaan kering.
Jadi, makin banyak warna tenun yang diinginkan, makin sering dan lama proses pengeringan dilakukan.
Proses pengeringan inilah yang mengalami kendala ketika musim hujan. Dari hanya satu hari, saat musim penghujan ini, paling tidak perlu tiga hari untuk pengeringannya.
Apa yang dilakukan Kawi? Pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Demikian pula 35 penenun yang dipekerjakannya. Sehingga, pendapatan mereka memang sedikit menurun. Kawi memberikan upah Rp 35 ribu untuk satu meter pengerjaan kain endek.
Bagi Kawi, saat musim hujan penurunan produksi tidak bisa terelakkan sejak dirinya berkelut di dunia tenun ikat khas Bali di tahun 1998.
Untuk mengerjakan satu gulungan kain, sekitar 10 orang dilibatkan dalam seluruh prosesnya. Mulai dari penggambaran motif, pewarnaan, hingga penenunan.
Dalam masa karirnya, hasil tenun ikat Kawi ini tidak hanya menjelajah pasaran di daerah, tetapi sudah merambah pasar nasional dan internasional.
KETUT EFRATA