TEMPO.CO, Jakarta-Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito menilai aturan pungutan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, serta penyelenggara perdagangan surat utang negara di luar bursa efek masih dalam kategori wajar.
"Itu masih normal. Selain itu, pungutan yang diterapkan belum tentu maksimum," kata Ito ketika dijumpai di kantornya, Senin, 26 November 2012.
OJK menetapkan besaran pungutan untuk pendapatan usaha dari lembaga keuangan sebesar 7,5 sampai 15 persen. Menurut Ito, pungutan tersebut tak serta merta ditetapkan secara maksimum. Namun masih terdapat kemungkinan diturunkan apabila dalam perjalanannya biaya operasional OJK dapat ditutupi dari pendapatan yang berlebih.
"Kalau OJK butuhnya sedikit, bisa kurang dari itu. Apalagi ke depan industri juga berkembang. Jadi persentase pungutan bisa di bawah maksimum," jelas Ito.
Ito menambahkan pungutan yang diterapkan OJK juga demi kemandirian usaha di dalam negeri. Selama ini, untuk lembaga serupa masih dibiayai oleh APBN. Sedangkan dengan adanya pungutan, beban APBN bisa dikurangi. “Sektor usaha membiayai pengawasannya secara mandiri seperti yang sudah diterapkan di luar negeri selama ini.”
Tak hanya bursa, pungutan ini juga dikenakan kepada penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, yaitu sebesar 0,015-0,03 persen dari aset. Manajer investasi juga dikenakan pungutan sebesar 0,5 persen-0,75 persen dari imbalan pengelolaan (management fee).
OJK juga mengatur pungutan untuk bank kustodian yang melakukan aktivitas terkait pengelolaan investasi. Pungutan direncanakan sebesar 0,5 persen dari imbalan jasa kustodian (custodian fee).
Perusahaan pemeringkat efek akan terkena pungutan Rp 7,5 juta-Rp 15 juta per perusahaan. Sedangkan penasihat investasi terkena pungutan sebesar Rp 2,5 juta-Rp 5 juta per perusahaan dan/atau Rp 250 ribu-Rp 500 ribu per orang.
GUSTIDHA BUDIARTIE