TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Pengolahan Daging Skala UKM dan Rumah Tangga (Aspedata) Indonesia menilai mogoknya para pedagang daging sapi akibat kenaikan harga adalah tindakan wajar.
"Ini (pemogokan) hanya bersifat sementara dan menjadi konsekuensi dari kebijakan pemerintah," kata Diana Dewi, Sekretaris Jenderal Aspedata Indonesia, Sabtu, 17 November 2012.
Konsekuensi yang dimaksud, menurut Diana, adalah kebijakan pemerintah yang merasionalisasikan impor daging dan sapi bakalan yang berlebihan di tahun-tahun sebelumnya.
Tahun ini, pemerintah menetapkan kebutuhan daging di Tanah Air mencapai 484 ribu ton. Sedangkan jumlah pasokan yang bisa dipenuhi dari dalam negeri sebesar 399,22 ribu ton, dan sisanya 17,5 persen atau setara 85 ribu ton daging harus dipenuhi dari impor.
Diana menjelaskan, jumlah impor dibagi menjadi dua jenis, yakni kuota impor daging beku sebesar 34 ribu ton dan sapi bakalan sebesar 283 ribu ekor, atau setara 51 ribu ton daging beku. Jika dipersentasekan, sebanyak 60 persen impor berupa sapi bakalan dan 40 persen berupa impor daging beku.
Diana memahami mogok penjual daging disebabkan melonjaknya harga. Namun, ia berharap seluruh pemangku kepentingan perdagingan bisa menyadari pemangkasan kuota impor ini untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
"Seharusnya kita menyadari ini semua akan mewujudkan sistem tata niaga yang baik ke depan. Kalau swasembada tercapai di 2014, yang diuntungkan adalah pengusaha UKM dan peternak," ujarnya.
Karena itulah, lanjutnya, masa peralihan untuk pencapaian kedaulatan pangan ini jangan sampai dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Ia khawatir situasi ini nantinya dimanfaatkan untuk memuluskan adanya impor daging dan sapi ilegal demi kepentingan pribadi dalam jangka pendek.
ROSALINA
Berita terpopuler lainnya:
Setelah Tempe-tahu, Kini Daging Langka
Daging Mahal, Pemerintah Pangkas Kuota Impor
Sisi Negatif dan Positif Daging Langka
Daging Langka, Penjual Rawon Rugi