TEMPO.CO, Jakarta - Memburuknya data ekonomi Eropa, Cina, ataupun Amerika Serikat makin mencuatkan harapan adanya stimulus dari bank sentral utama dunia, imbasnya akan positif bagi rupiah. Banyaknya permintaan rupiah menjelang Lebaran diharapkan bisa menopang penguatan mata uang lokal.
Dalam sepekan kemarin rupiah ditransaksikan melemah tipis 9 poin (0,1 persen) dan ditutup di 9.485 per dolar AS Jumat lalu. Susutnya surplus neraca perdagangan Cina sedikit membebani mata uang Asia, akhir pekan lalu.
Pengamat pasar uang dari PT Monex Investindo Futures, Apellles R.T. Kawengian, mengatakan data klaim pengangguran AS yang turun di bawah perkiraan analis sebelumnya memberikan dukungan positif bagi dolar AS. Imbasnya, rupiah belum mampu keluar dari tekanan dan belum bisa menjauh dari level 9.500 per dolar AS.
Rupiah diprediksi masih akan ditransaksikan dalam rentang 9.400 hingga 9.500 per dolar AS. Dari sisi teknikal, minggu ini ada ruang bagi rupiah untuk menguat ke 9.400 per dolar AS. Sementara itu, dari sisi fundamental seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, masih sangat mendukung apresiasi mata uang lokal.
Stabilnya nilai tukar rupiah di level seperti sekarang ini tidak terlepas dari konsistensi Bank Indonesia menjaga mata uangnya. Selain itu, masih adanya kepercayaan investor asing berinvestasi dalam mata uang rupiah. “Mulai diberlakukannya term deposit valas juga turut menjaga stabilitas rupiah,” kata Apelles.
Berita positif dan negatif dari faktor eksternal yang silih berganti bergulir di pasar finansial dalam beberapa pekan terakhir, tapi rupiah cukup stabil di level saat ini. Indeks saham domestik yang naik-turun cukup tajam juga tidak banyak mempengaruhi rupiah. “Belum adanya aliran dana asing ke pasar finansial domestik membuat apresiasi rupiah juga belum bisa menguat,” tuturnya.
PDAT | VIVA B.K.