TEMPO.CO, Jakarta - Hasil pertemuan para pemimpin Uni Eropa pekan lalu serta terkendalinya angka inflasi di Juni mampu memicu rupiah menguat ke level 9.300 per dolar Amerika Serikat (AS).
Terapresiasinya rupiah ke level 9.385 per dolar AS di transaksi nondeliverable forward (NDF) pasar New York seiring dengan melemahnya mata uang Negeri Abang Sam terhadap mata uang utama dunia mampu dimanfaatkan oleh rupiah, sehingga menembus di bawah level 9.400.
Rupiah mengawali bulan Juli dengan percaya diri. Di transaksi pasar uang hari ini rupiah berhasil menguat 51 poin (0,54 persen) menjadi 9.382 per dolar AS. Ini merupakan level terkuat rupiah sejak 6 Juni.
Sisa euforia Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa yang menghasilkan kesepakatan pengucuran dana sebesar 10 miliar euro ternyata masih berlanjut di pasar uang. Langkah darurat yang dilakukan pemimpin zona Eropa untuk menyelesaikan krisis utang telah mendongkrak mata uang Asia, termasuk rupiah.
“Rupiah menembus level terkuatnya dalam dua pekan terakhir,” ujar Nurul Eti Nurbaeti, Head of Treasury Research PT BNI Tbk (BBNI). Selain itu, sentimen positif dari dalam negeri, yakni terkendali inflasi serta surplus neraca perdagangan, cukup dominan mempengaruhi apresiasi rupiah.
Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi bulan kemarin mencapai 0,62 persen. Sedangkan tahun kalender hingga Juni 1,79 persen, sementara inflasi tahunan (year on year) 4,53 persen. Sedangkan neraca perdagangan untuk Mei 2012 mengalami defisit US$ 485,9 juta, tapi dalam tahun kalender masih surplus US$ 1,52 miliar.
Secara umum kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat di tengah pusaran perlambatan ekonomi global. Walau demikian, Nurul mengingatkan, apresiasi rupiah masih akan terus dibayangi kelanjutan krisis utang di Eropa. “Masih tingginya imbal hasil obligasi di beberapa negara anggota zona euro mengisyaratkan adanya potensi tertahannya laju penguatan mata uang Asia, termasuk rupiah,” ujar dia.
PDAT | M AZHAR