TEMPO Interaktif, Jakarta - Ditransaksi pasar uang kemarin, nilai tukar rupiah berhasil menguat menguat ditengah terdepresiasinya mata uang regional. Kemarin rupiah ditutup pada level 9.089 per dolar Amerika Serikat (AS), yang berarti berhasil menguat 16 poin (0,18 persen) dari penutupan sebelumnya di level 9.105.
Pergerakan rupiah hari ini akan kembali dibayangi keterpurukan euro terhadap dolar AS. Namun, Bank Indonesia yang secara konsisten menjaga mata uangnya dipasar bisa menjadi penopang agar rupiah tidak turun terlalu tajam.
Fundamental makroekonomi Indonesia yang masih solid dimana ekonomi masih tumbuh diatas 6 persen, inflasi terkendali, stabilitas keamanan dan politik yang terjaga sebenarnya tidak ada alasan bagi pelemahan rupiah.
Terpuruknya euro hingga dibawah level psikologis US$ 1,3 di pasar New York semalam membuat greenback (sebutan dolar AS) makin menunjukkan keperkasaanya terhadap mata uang dunia. Sehingga indeks dolar AS (indikator pergerakan dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) kembali naik 0,347 poin (0,43 persen) menjadi 80,589, seperti yang dilansir Marketwatch.com tadi malam.
“Ketidakpastian kawasan Eropa yang menjadi pendorong pasar saat ini,” kata George Rusnak, direktur nasional pendapatan tetap dari Well Fargo Private Bank. “Kalau kita lihat, belum ada yang berubah dalam waktu dekat,” tuturnya.
Mata uang euro dalam perdagangan semalam sempat terpuruk hingga ke level US$ 1,2943 sebelum menguat kembali ke level US$ 1,2986. Diperdagangan Asia kemarin euro masih diperdagangkan pada level US$ 1,3026.
Pelemahan euro terjadi setelah Departemen Keuangan Italia melepas obligasi senilai US$ 3,9 miliar dengan tenor 5 tahun dengan imbal hasil meningkat hingga 6,47 persen, level tertingginya sejak berlakunya mata uang euro. Sehingga akan makin membebani anggaran negara tersebut untuk membayar utang.
“Hasil lelang obligasi Italia menjadi sentimen negatif Eropa sehingga makin menekan euro,” ujar Jane Foley, ahli strategi senior dari Rabobank International. “Kita sudah berada di level terendah tahun ini dan cukup berdampak psikologis terhadap para pelaku pasar,” paparnya.
Tidak adanya stimulus dari Bank Sentral AS (The Fed) untuk menghadapi krisis dari Eropa, serta Kanselir Jerman yang menolak untuk meningkatkan dana talangan bagi euro membuat mata uang euro tertekan hingga dibawah level psikologis US$ 1,3.
Prospek ekonomi kawasan yang akan melambat karena pengetatan anggaran dan ancaman dipangkasnya peringkat utang negara Uni Eropa mendorong dolar AS makin digdaya terhadap euro, ditambah lagi data - data ekonomi AS yang dirilis juga terlihat membaik dalam beberapa pekan terakhir.
VIVA B. KUSNANDAR