Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Kantor Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi akan melakukan pemutihan izin dengan membuka pendaftaran kembali lembaga penyiaran lokal, baik televisi maupun radio, yang selama ini beroperasi berdasarkan izin siaran dari pemerintah daerah. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif menyebutkan kebijakan ini diambil sebagai suatu langkah transisional menunggu terbentuknya Komisi Penyiaran Indonesia dan pelaksanaan secara menyeluruh Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada pasal penjelasan disebutkan sebelum berlaku secara penuh, maka pemerintah dapat memakai Undang-Undang nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran, ujar Menteri usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Rabu (19/2). Menurut Syamsul, dalam Undang-Undang yang lama itu, izin siaran lembaga penyiaran berada di tangan Departemen Penerangan yang kini telah berubah menjadi Kementerian yang dipimpinnya. Sedangkan izin frekuensi ada di tangan Departemen Perhubungan. Langkah selanjutnya, papar dia, Kementerian dalam waktu dekat akan melakukan inventarisasi semua lembaga penyiaran yang sudah mendapat izin dari pemerintah daerah, untuk selanjutnya akan diproses perizinannya. Untuk memenuhi azas tranparansi di dalam proses perizinan transisi ini, ujar Syamsul, mereka akan berkonsultasi dengan DPR yang dianggap berperan sebagai KPI transisional. Menteri memaparkan saat ini sudah tumbuh sedemikian banyak televisi dan radio lokal dengan hanya memakai izin dari pemerintah daerah. Padahal semestinya semua lembaga penyiaran yang beroperasi berdasarkan izin dari pemerintah daerah dianggap tidak sah. Namun, Menteri melanjutkan, letak permasalahannya tidak semata-mata pada kesalahan pemerintah daerah karena pemda juga berpegang pada peraturan yang juga kuat, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah. Dengan dasar PP ini banyak pemda yang menafsirkan bahwa alokasi frekuensi radio dan televisi lokal menjadi kewenangannya, ujarnya. Keadaan ini, ujar dia, terjadi bersamaan dengan stagnasi penerapan Undang-Undang Penyiaran yang lama akibat dibubarkannya Departemen Penerangan. Karenanya banyak izin yang diberikan oleh Pemda, termasuk alokasi frekuensi, imbuhnya. Padahal, sergahnya, berdasarkan Undang-Undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi wewenang pengaturan alokasi frekuensi ada di Departemen Perhubungan. Sedangkan yang terjadi sekarang, lanjut bekas ketua fraksi Golkar ini, frekuensi yang digunakan oleh lembaga penyiaran diambil secara sembarangan. Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur seperti itu. Kita tertibkan saja, kata dia. Menurut Syamsul, mereka yang sudah memiliki izin dari pemda sementara ini masih bisa beroperasi. Tapi nanti, sambungnya, setelah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Dephub selesai membuat rencana induk frekuensi, semua lembaga penyiaran harus ikut menyesuaikan diri dengan rencana induk tersebut. Dalam rencana induk tersebut, kata Menteri, nantinya akan dimuat batasan-batasan teknis seperti kanal frekuensi, batas daya pancar, lokasi pemancar, tinggi menara, luas cakupan siaran, dan persyaratan lainnya. Langkah berikutnya, lanjut Syamsul, hasil inventarisasi ini akan diserahkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah yang akan mengambil keputusan akhir. Mengenai tumpang tindih antara Undang-Undang Penyiaran dengan Peraturan Pemerintah tentang Otonomi Daerah, ia mengungkapkan bahwa Menteri Perhubungan Agum Gumelar, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dan ia sendiri, telah sepakat untuk membuat penyempurnaan Peraturan Pemerintah tentang Otonomi Daerah tersebut. Pendapat berbeda dilontarkan Kepala Humas Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Gatot S. Dewa Broto. Menurut dia, sebelum UU Penyiaran yang baru berjalan sepenuhnya dan surat keputusan bersama antara Menhub, Meneg Kominfo, dan Mendagri ditandatangani, Ditjen Postel masih tetap berpegang pada UU Telekomunikasi yang menyebutkan bahwa alokasi frekuensi harus seizin Menhub. Yang hanya memegang izin pemda tidak legal, tegas dia. Gatot menjelaskan jika pemerintah memutihkan semua izin yang diterbitkan oleh pemerintah daerah sebelum rencana induk alokasi frekuensi selesai dibuat dikhawatirkan akan muncul preseden buruk. Misalnya, kata dia, akan ada orang yang meminta izin dari pemda dengan tujuan mendapat pemutihan. Kalau ini terjadi, paparnya, jumlah lembaga penyiaran yang diputihkan izinnya semakin banyak. Di sisi lain jumlah alokasi frekuensi di dalam rencana induk cenderung semakin sedikit. Jika sudah begini penyelenggara lembaga publik akan komplain, kenapa sudah diputihkan kok tidak dapat izin, imbuhnya. Ia meminta semua pihak bersabar menunggu selesainya rencana induk sekitar dua bulan lagi. Sekarang sudah di tangan pak Menteri Perhubungan, katanya. Ucok Ritonga