TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga pemeringkat dunia, Standard & Poor's Global Ratings (S&P) merilis data terkini Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia. Hasilnya PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 anjlok ke zona kontraksi yakni 48,9 dari sebelumnya 49,3.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan penurunan tidak terlepas dari melemahnya kinerja sektor manufaktur global di tengah tekanan permintaan. “Pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, Kawasan Eropa dan Amerika harus semakin diantisipasi ke depannya,” kata dia lewat keterangan resmi dikutip Rabu, 4 September 2024.
Anak buah Sri Mulyani itu mengatakan, aktivitas manufaktur negara mitra dagang dan kawasan ASEAN juga mengalami tantangan yang sama. Antara lain Amerika Serikat di level 48,0 dan Jepang 49,8. Negara tetangga seperti Malaysia dan Australia juga kembali mencatatkan PMI manufaktur yang terkontraksi masing-masing pada level 49,7 dan 48,5.
Menurut Febrio, perhatian terus diberikan untuk lagging industry yang menghadapi tantangan. “Industri padat karya seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Alas Kaki saat ini tengah menghadapi tantangan berat. Tidak hanya dari sisi kinerja ekspor, namun juga daya saing di pasar domestik yang tergerus produk impor,” ujarnya.
Pemerintah terus berupaya mendorong daya saing industri seperti ini dengan berbagai bauran kebijakan. Sebagai langkah menjaga daya saing produk TPT, Pemerintah telah menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
Di antaranya untuk Pakaian dan Asesori Pakaian hingga November 2024; Tirai, Kelambu Tempat Tidur, serta Benang dari Serat Staple Sintetik dan Artifisial hingga Mei 2026; Kain dan Karpet hingga Agustus 2027; serta penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk Poliester Staple Fiber (benang) dari India, Cina, dan Taiwan hingga Desember 2027.
Kebijakan ini menurut Febrio bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan daya saing industri TPT dalam negeri yang memiliki serapan tenaga kerja besar.
Menyitir rilis S&P Global pada 2 September 2024 disebutkan manufaktur RI tercatat di bawah batas netral 50,0 atau turun ke level 48,9 pada Agustus dari bulan sebelumnya 49,3. “PMI menunjukkan penurunan tajam pada kondisi pengoperasian selama tiga tahun, atau sejak Agustus 2021” demikian dipaparkan dalam publikasi S&P.
Melemahnya produksi dan permintaan baru menyebabkan PHK di pabrik sektor manufaktur Indonesia. S&P mencatat secara umum, tingkat susunan staf menurun selama dua bulan berturut-turut, meski hanya sedikit. Dilaporkan bahwa tidak ada penggantian karyawan yang keluar atau pemberlakuan PHK sementara karena penjualan dan produksi menurun.
Pilihan Editor: Banjir Barang Impor Tidak Terbendung, Menteri Agus Gumiwang: PMI Manufaktur terus Terpuruk