Karen mengatakan perseroan juga mengkaji opsi-opsi lainnya dengan asumsi harga minyak yang berbeda-beda. "Harus dibuat segmentasi kalau harga minyak segini bagaimana, kalau segitu bagaimana," katanya. Pengkajian itu, ia menambahkan, dilakukan karena harga minyak mentah sebesar US$ 70 per barel sekarang ini dinilai masih marjinal. Dia mengatakan proyek itu baru ekonomis jika harga minyak US$ 85 per barel.
Cadangan terbukti Blok Natuna mencapai 46 triliun kaki kubik dengan kandungan gas karbondioksida 70 persen. Akibatnya biaya teknologi pengembangan blok menjadi mahal. Hingga saat ini pemerintah belum memutuskan term and condition proyek tersebut. Sehingga Pertamina belum bisa melanjutkan proyeknya. "Kalau itu belum selesai, saya tidak bisa melanjutkan," katanya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Herawati Legowo mengatakan pihaknya masih berdiskusi dengan Pertamina soal term and condition proyek. Namun ia menolak menanggapi keluhan Pertamina soal asumsi harga minyak US$ 70 per barel. "Kalau itu saya tidak akan komentar, yang jelas sedang kami pelajari," ujarnya.
Blok Natuna tadinya dikelola oleh ExxonMobil sebelum kontraknya diputus pada 2007. Pemerintah kemudian meminta Pertamina untuk mengelola blok tersebut dan mencari mitra. Hingga kini calon mitra Pertamina masih ada delapan. Namun evaluasi calon mitra baru bisa dilakukan setelah ada term and condition.
DESY PAKPAHAN