TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti beban utang dan bunganya yang harus dibayar oleh Pemerintah pada tahun 2025, di antaranya Rp800 triliun utang jatuh tempo dan Rp400 triliun bunga utang tahun berjalan. Kondisi itu menunjukkan APBN sedang dalam kondisi yang cukup berat.
Di sisi lain, dia menilai banyak masyarakat yang membutuhkan dukungan dari Pemerintah, terutama menimbang situasi daya beli yang terindikasi melemah, biaya kuliah yang terus meningkat, serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang makin masif.
Saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2024, Bhima, APBN lebih baik dibelanjakan untuk memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat yang rentan terhadap risiko kondisi-kondisi ekonomi tersebut, daripada digelontorkan untuk upacara 17 Agustus yang menghabiskan puluhan miliar rupiah.
“Cara ini menunjukkan kualitas dari APBN digunakan untuk belanja nonproduktif,” ujar dia yang mengkhawatirkan anggaran untuk perayaan upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI (HUT RI) Ke-79 di Ibu Kota Nusantara (IKN) bakal menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara .
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengungkapkan anggaran untuk upacara HUT RI ke-79 di IKN pada 17 Agustus mendatang mencapai Rp87 miliar. Angka itu lebih tinggi dibandingkan anggaran HUT RI di Jakarta tahun lalu yang tercatat Rp53
Kementerian Keuangan menyatakan realisasi pembiayaan utang sebesar Rp266,3 triliun hingga 31 Juli 2024.
“Dari postur pembiayaan utang yang sebesar Rp648,1 triliun, realisasi baru sebesar Rp266,3 triliun. Ini berarti 41,1 persen dan ini baru bulan ketujuh,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Agustus 2024, di Jakarta, Selasa.
Realisasi pembiayaan utang mengalami pertumbuhan yang tinggi bila dibandingkan realisasi tahun lalu, yakni sebesar 36,6 persen.
Namun, menurut Menkeu, kondisi itu terbilang wajar mengingat penerimaan negara tahun lalu cukup tinggi berkat kenaikan signifikan dari harga komoditas.
“Makanya tahun lalu penerbitan SBN mengalami penurunan luar biasa, dari harusnya Rp437,8 triliun menjadi hanya Rp184,1 triliun,” ujarnya.
Adapun tahun ini, realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tercatat sebesar Rp253 triliun atau 38 persen dari target APBN. “Karena harga semua komoditas sudah kembali, sehingga memang defisit diperkirakan pasti lebih tinggi dari 2023,” kata Sri Mulyani.
Namun, Menkeu menyatakan peningkatan tersebut merupakan bagian dari strategi countercyclical, dengan Kemenkeu menerbitkan SBN lebih banyak demi menstabilkan perekonomian yang lesu. Sementara ketika perekonomian tinggi seperti tahun lalu, Kemenkeu menurunkan penerbitan SBN guna mengimbangi efek ledakan harga komoditas.
Realisasi pinjaman tercatat sebesar Rp13,3 triliun dan pembiayaan non-utang Rp49,3 triliun.
Dengan demikian, realisasi pembiayaan anggaran hingga 31 Juli 2024 mencapai Rp217 triliun.
“Tumbuhnya cukup tinggi dibanding tahun lalu, tapi itu relatif on-track terhadap postur kita. Tahun lalu itu pengecualian karena penerimaan negara luar biasa baik,” katanya.
Ke depan, Kemenkeu akan terus berupaya mengendalikan defisit dengan memacu penerimaan sekaligus mendisiplinkan belanja agar realisasi tidak terlampau jauh dari postur yang telah ditetapkan.
Berikutnya: Defisit Rp93 Triliun