TEMPO.CO, Jakarta -Puluhan masyarakat Rempang, Batam, Kepulauan, mendatangi Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada Rabu siang, 14 Agustus 2024. Mereka menyerukan penolakan Rempang Eco City di kawasan mereka. “Selama satu tahun masyarakat adat hidup dalam ketidakpastian, setiap waktu bisa digusur, kehilangan tanah, dan kehidupan,” kata seorang orator dalam aksi itu.
Dia menyebut masyarakat Rampang sengaja mendatangi kantor pemerintah dan instansi terkait pembangunan proyek strategis nasional ini karena aspirasinya tak pernah didengar. “Suara kami tak pernah didengar, dipertimbangkan untuk memberikan kebijakan yang berpihak pada masyarakat,” kata dia.
Pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare itu bakal digarap PT Makmur Elok Graha, anak perusahaan milik taipan Tomy Winata. Proyek ini ditargetkan akan menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080. Hingga saat ini, total investasi pengembangan Eco City Area Batam Rempang mencapai Rp 43 triliun. PT MEG juga telah menggandeng Xinyi International Investment Limited, calon investor yang bakal membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang.
Rempang Eco City merupakan bagian program pengembangan kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Permenko Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar PSN.
Pada 7 September 2023, pemerintah memulai proses pemasangan patok dan pengukuran lahan di Pulau Rempang. Rencana itu kemudian memancing perlawanan dari warga Pulau Rempang yang menolak digusur dan direlokasi.
Bentrokan pecah antara masyarakat dan aparat keamanan yang terdiri atas polisi, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Di siang itu, polisi membubarkan warga Rempang yang memblokade jalan dengan menembakan gas air mata. Tapi tak hanya membubarkan warga, gas air mata juga memapar para siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama negeri yang berada tak jauh dari lokasi kejadian.
Badan Pengusahaan Batam serta pemerintah Kota Batam dan PT Makmur Elok Graha menggelar rapat koordinasi pengembangan Rempang Eco City terkait realisasi serta beberapa rencana aksi untuk mendukung investasi di Rempang, salah satunya pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau menilai pemerintah dan BP Batam sama sekali tidak mempedulikan aspirasi masyarakat yang hingga saat ini masih tetap bertahan di kampung mereka dan menolak untuk direlokasi.
Rapat koordinasi berlangsung setelah ada kunjungan dan konferensi pers Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto di Kota Batam terkait Investasi Rempang Eco-City pada 12 Juli 2024.
Kunjungan itu dilakukan memastikan memastikan kesiapan pembangunan rumah dan infrastruktur bagi warga yang terdampak dari pengembangan Rempang Eco-City. "Kedua agenda pemerintah ini menunjukkan seolah penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan PSN Rempang Eco-City tidak berarti apapun," kata Boy Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau dalam keterangan tertulis, Kamis, 25 Juli 2024.
Boy menilai Pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendaknya untuk tetap melanjutkan investasi Rempang Eco-City, karena sampai saat ini mayoritas warga Rempang tetap menolak untuk direlokasi. “Masyarakat Rempang masih tetap ingin hidup dan menjaga tanah adat leluhur mereka yang mereka tempati sejak dulu," katanya.
Boy yang juga masuk dalam tim solidaritas nasional untuk Rempang mengatakan, data yang kami himpun dan baru-baru ini kami publikasikan melalui kajian berjudul Kronik PSN Rempang Eco-City, Kontroversi Investasi Tiongkok, dan Resistensi Masyarakat Rempang, hanya 20 persen masyarakat di lima kampung tua yang jadi prioritas pembangunan (Sembulang Pasir Merah, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Pasir Panjang, dan Belongkeng) yang menerima relokasi, sedangkan sisanya bertahan di kampung masing-masing.
"Ambisi pemerintah untuk tetap melanjutkan pengembangan Rempang Eco-City tidak hanya akan mengusir dan merampas hak masyarakat adat dan tempatan Pulau Rempang namun juga akan turut berpotensi menghancurkan sumber penghidupan masyarakat yang mayoritas bergantung pada laut dan kebun. Apalagi hasil pertanian, peternakan, dan laut masyarakat selama ini juga telah menyumbang sebagian besar sumber pangan untuk Kota Batam," kata Boy.
Ia melanjutkan, pemerintah juga harus berpikir ulang untuk menjadikan Rempang jadi kawasan industri dan perdagangan, karena selama ini hasil pertanian dan laut masyarakat Rempang telah berkontribusi besar untuk kebutuhan pangan di Kota Batam. "Jangan sampai keberadaan proyek ini justru akan mengurangi sumber pangan yang ada hingga menimbulkan krisis pangan di masa yang akan datang,” kata Boy.
Yogi Eka Saputra dan Andika Dwi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Ombudsman: BUMDes Bisa Belola Distribusi Pupuk Subsidi