TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla enggan menanggapi kekhawatiran kelompok masyarakat adat setelah NU memutuskan menerima izin tambang dari pemerintah. Salah satu kekhawatiran itu adalah potensi konflik horizontal terjadi antara ormas dan masyarakat adat.
Ulil tak menjawab pertanyaan Tempo soal mitigasi NU terhadap potensi konflik horizontal antara ormas dan masyarakat adat. "Nanti kita lihat saja," kata Ulil, menjawab mitigasi NU perihal konflik horizontal, di pelataran Kantor PBNU, di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Senin, 12 Agustus 2024.
Kepada Tempo, Ulil hanya berujar singkat bahwa organisasi keagamaan ini akan mengelola tambang dengan memperhitungkan aspek lingkungan. "Intinya kami akan mengelola tambang yang konsesinya diberikan oleh pemerintah kepada kami sebaik-baiknya," ujarnya.
Ulil meninggalkan kantor PBNU dengan menumpang ojek online. Beberapa pertanyaan perihal masalah lingkungan dan was-was komunitas masyarakat perihal konflik horizontal tak dijawab oleh Ulil. Dia beralasan harus berangkat karena ditunggu pengendara ojek online tersebut. Ulil beranjak setelah mengikuti acara perkenalan Kejuaran Nasional & Pagar Nusa Championship V 2024 di Kantor Pusat PBNU.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN, Rukka Sombolinggi, menyatakan was was perihal potensi konflik horizontal dari langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi bagi-bagi izin tambang pada organisasi kemasyarakatan atau Ormas keagamaan.
Saat ini sejumlah ormas keagamaan besar seperti NU dan Muhammadiyah menyatakan bersedia menerima IUP yang ditawarkan pemerintah meski mereka menuai banyak kritik dari publik. Sikap dua ormas itu berbeda dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia yang menyatakan tak menerima IUP.
Menurut Rukka, selama ini masyarakat adat banyak menjadi korban industri tambang. Banyak hutan, termasuk hutan adat dirusak industri tambang. NU dan Muhammadiyah serta ormas keagamaan lain adalah kelompok yang kerap bersama masyarakat adat membela kelestarian hutan dari tambang.
Dia mengatakan, NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi keagamaan yang turut terlibat dalam aliansi agama dan kepercayaan untuk hutan tropis. "Selama ini, mereka (Ormas keagamaan) kami anggap sebagai sekutu," kata Rukka kepada Tempo di sela kegiatan Konferensi Internasional Hari Masyarakat Adat Sedunia di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, Jumat, 9 Agustus 2024.
Masyarakat adat juga kerap berhadapan dengan perusahaan saat berupaya melindungi tanah atau hutan adat mereka dari tambang. Tidak jarang masyarakat adat terpaksa berhadapan dengan aparat pemerintah yang membela industri tambang. Dia tidak berharap nanti masyarakat adat akan berhadapan dengan ormas keagamaan. “Akan makin berat hidup kami,” ujarnya.
Pilihan Editor: Disangka Kerjakan Desain Istana Garuda IKN Seorang Diri, Nyoman Nuarta: Geblek Banget