TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menyebut beban utang pemerintah di era pemerintahan Prabowo-Gibran akan makin serius. Dia memproyeksikan cicilan pokok utang dan bunganya bisa tembus Rp1.300 triliun per tahun.
Dia menjelaskan, pada 2024, besaran utang jatuh tempo pemerintah sebesar Rp400 triliun. Kemudian sepanjang 2025 hingga 2028, total utang pemerintah yang jatuh tempo mencapai Rp3.100 triliun atau sekitar Rp 800 triliun per tahun.
"Dengan beban bunga utang di kisaran Rp500 triliun per tahun, maka beban bunga utang dan cicilan pokok utang di era Presiden Prabowo berpotensi menembus Rp1.300 triliun setiap tahunnya," kata Yusuf kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan, dikutip pada Selasa, 18 Juni 2024.
Yusuf menyebut akar dari pembengkakan utang pemerintah adalah fenomena gali lubang tutup lubang. Pemerintah menggunakan strategi pengelolaan utang yang fokus pada refinancing untuk memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo.
Strategi tersebut, kata dia pada akhirnya membuat pengelolaan utang hanya sekadar gali lubang tutup lubang. Artinya, utang baru dibuat untuk menutup kewajiban utang lama, sehingga stok utang tidak pernah menurun. Pengelolaan portofolio utang hanya sekadar debt switching dan buyback saja.
Menurut Yusuf, pemerintah tidak melakukan reformasi anggaran yang mendasar, yakni meningkatkan tax ratio atau menurunkan beban pengeluaran. "Ketika reformasi perpajakan gagal meningkatkan tax ratio dan reformasi birokrasi gagal menurunkan belanja pegawai, belanja barang dan transfer ke daerah, maka hal ini secara sederhana diatasi dengan cara kembali berutang."
Pembenaran pemerintah untuk berutang umumnya adalah spekulatif, yaitu utang akan digunakan untuk kegiatan produktif yang diproyeksikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada bunga utang. Dengan harapan, penerimaan perpajakan yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi akan mampu mengembalikan pokok utang sekaligus menutup beban bunganya. "Bila gagal mendorong pertumbuhan dan menarik pajak darinya, maka harus dibayar dengan mahal, yakni berutang kembali."