TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Iwan Suprijanto tidak setuju dengan pendapat sebagian masyarakat yang menyandingkan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PT Asabri) yang banyak kasus. Menurut dia, sebuah kebijakan harus dibedakan dengan pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya
Iwan menuturkan, dia mengaku mendengar statemen yang membandingkan Tapera dengan Asabri. Ketika penyelewengan terjadi dalam pelaksanaan sebuah kebijakan, dia mengatakan harus dilihat apakah penyelewengan itu sistemik atau memang ada pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya.
“Saya pribadi ingin memisahkan kebijakan tersebut dengan oknum yang melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang,” ujar dia dalam dia dalam diskusi “Ragam Bincang Tapera: Solusi Tepat bagi Rakyat?” melalui siaran daring, Ahad, 9 Juni 2024.
Dia mengaku berharap masyarakat dapat menilai sebuah kebijakan secara objektif. Jangan karena adanya pejabat yang menyalahgunakan wewenang, kata dia, pelaksanaan sebuah kebijakan yang banyak manfaatnya tidak jadi berlangsung.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko, sebelumnya juga meyakini bahwa program Tapera tidak akan mengalami nasib yang sama seperti kasus korupsi Asabri. Menurut dia, Tapera adalah simpanan yang aman dan tidak akan hilang, bukan iuran atau potongan penghasilan.
"Pemerintah ingin memastikan Tapera tidak mengalami hal yang seperti Asabri. Dengan dibentuknya Komite Tapera, saya yakin pengelolaannya akan lebih transparan, akuntabel, karena semua bentuk investasi Tapera ada yang kontrol yakni Komite dan OJK," kata Moeldoko di Jakarta, 31 Mei 2024, dilansir dari Antara.
Moeldoko juga mengungkapkan bahwa kurangnya transparansi di Asabri menyebabkan korupsi, berbeda dengan Tapera yang diawasi ketat.
Kasus mega korupsi yang melibatkan PT Asabri telah menjadi sorotan sejak 2023, ketika terungkap bahwa Benny Tjokrosaputro terlibat dalam kasus tersebut. Berdasarkan surat tuntutan, nilai kerugian negara mencapai Rp 22,78 triliun.
Benny awalnya dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun dalam putusan pengadilan, dia dinyatakan tidak bersalah. Putusan ini disebabkan beberapa alasan, termasuk pelanggaran asas penuntutan oleh JPU dan kurangnya bukti yang cukup.
Pilihan Editor: PP Muhammadiyah Akan Tarik Seluruh Dananya dari BSI, Ini Respons BSI