Ketiga, penolakan yang terjadi saat ini karena pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan potongan yang banyak untuk berbagai program. Misalnya, potongan iuran jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan atau jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun, hingga cadangan untuk pesangon.
“Tambahan potongan untuk Tapera ini akan semakin memberatkan pekerja dan pengusaha,” ucap staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) itu.
Menurut dia, kebijakan pemerintah mewajibkan memotong gaji sebesar 3 persen dari semua pekerja, baik PNS, TNI dan Polri, pegawai badan usaha milik negara atau BUMN dan badan usaha milik daerah (BUMD), hingga pegawai swasta dan pekerja mandiri. Secara umum memiliki tujuan baik, yaitu mendorong kepemilikan rumah oleh masyarakat terutama kelas bawah, bahkan dalam jangka panjang diharapkan akan menghapus kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan rumah.
Secara sederhana hal itu merupakan kebijakan "tabungan wajib" untuk kepemilikan rumah dengan 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen dibayar pemberi kerja. Jika tidak digunakan untuk pembiayaan kepemilikan rumah, maka dana “tabungan” akan dikembalikan di akhir masa kepesertaan. Namun, penolakan atas program Tapera menguat setelah beberapa pengalaman masyarakat atas pengelolaan program serupa di masa sebelumnya. “Timing dari kebijakan ini sangat buruk,” kata Yusuf.
Yusuf menjelaskan, setelah adanya UU Cipta Kerja, kenaikan upah buruh sangat rendah. Bahkan tak mampu sekadar mengimbangi inflasi. Dengan daya beli dan kesejahteraan yang semakin menurun dalam empat tahun terakhir di bawah rezim UU Cipta Kerja, maka pemotongan gaji pekerja untuk Tapera akan semakin menekan daya beli pekerja yang sudah lemah. Lebih jauh, dia berujar, kebijakan ini akan menambah beban dan memperburuk daya saing pengusaha.
Dia mengatakan, tanpa kebijakan ini saja daya saing pengusaha banyak yang sudah lemah. Bahkan tak sedikit pengusaha mengalami kebangkrutan. Dengan berbagai problem itu, Yusuf berharap sebaiknya pemerintah membatalkan kebijakan potongan untuk Tapera tersebut. Dan berfokus pada upaya memenuhi kebutuhan rumah 18 persen keluarga Indonesia menuju zero backlog.
Menurut Yusuf, dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, maka 18 persen keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan sekitar 12,7 juta rumah tangga. “Inilah angka backlog kita,” kata Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Ekonomi Islam dan Bisnis Islam FEUI pada 2013-2015 itu. “Tanpa terobosan kebijakan, mimpi pemerintah untuk mencapai zero backlog pada 2045 berpotensi besar gagal.”
Pilihan Editor: Duet Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe Mundur Bersamaan, Profil Kepala Otorita IKN dan Wakil OIKN