TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori merespon rencana kunjungan Cina untuk mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah (Kalteng). Menurut dia tak masalah jika Indonesia berencana mengintroduksi teknologi padi dari Cina.
Namun, menjadi masalah jika Indonesia ingin mengintroduksi sistem usaha tani seperti menghadirkan benih dari negara lain atau Cina. "Tidak selalu jadi solusi baik, cespleng, dan langsung aplikabel," kata Khudori melalui keterangan tertulis pada Selasa, 23 April 2024.
Sebab, introduksi sistem usaha tani pasti memerlukan adaptasi, baik iklim, cuaca, sifat tanah dan hama penyakit. Apalagi kondisi geografis Indonesia tak seperti Cina. Perbedaan itu akan mempengaruhi karakter budidaya, tanah, iklim, cuaca.
Menurut Khudori, lama proses adaptasi tak menentu dan bisa mengalami kegagalan. Proses itu memerlukan input dari ahli-ahli lokal agar berhasil. "Ahli di Cina bisa saja jagoan dalam pertanaman padi di sana, tapi ketika teknologi serupa diterapkan di Indonesia belum tentu berhasil," kata dia.
Ia mencontohkan pengalaman Wakil Presiden Jusuf Kalla tahun 2007. Di mana perusahaan Indonesia dan Cina mulai bekerja sama di bidang perbenihan. Namun, belakangan diketahui setelah benih padi hibrida diimpor dan dibagikan kepada petani sebagai bantuan benih, hasilnya tak memuaskan.
Khudori mencatat padi hibrida yang ditanam petani di beberapa tempat terserang penyakit. Padahal sudah ada pengembang benih hibrida yang ahli di Cina, hingga produktivitas padinya diklaim bisa 16 ton/ha.
Ia mengakui jika produktivitas di Cina lebih tinggi karena separuh benihnya ditanam dari padi hibrid. Sedangkan, benih padi hibrida di Indonesia masih kecil porsinya. Apalagi dengan biaya usaha tani yang mahal. "Terutama untuk sewa lahan dan biaya tenaga kerja," ucapnya.
Pilihan Editor: Syarat IPK 3,5 Rekrutmen KAI untuk Manajemen Trainee, Gaji 25-35 Juta kalau Sudah Manajer