TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar mengkritik usulan DPR RI soal rencana pembentukan panja investasi sebagai salah satu badan pengawas imbas adanya dugaan permainan izin tambang. Menurutnya hal yang harus dikuatkan yakni mengontrol penegak hukum mengawasi pertambangan, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Panja investasi, bahkan lembaga semacam DPR itu sudah inrelevan. Peran ini bahkan justru sering kali menjadi bagian dari masalah,” kata Melky saat dihubungi Tempo melalui pesan singkat pada Rabu, 3 April 2024.
Melky mengatakan DPR telah dan selalu gagal atau bahkan tidak memberikan pengawasan terhadap pemerintah. Melky menyoroti hilangnya peran pengawasan ketika pemerintah mencabut dan memulihkan izin pertambangan.
"Ke mana mereka selama ini? Ketika masalahnya meledak tiba-tiba muncul ide panja investasi. Mau menjadi pahlawan dan cuan juga rupanya,” tuturnya.
Menurutnya saat ini yang dibutuhkan adalah penegakan hukum atas dugaan permainan izin tambang oleh pemerintah. Maka yang perlu dilakukan adalah mendorong dan mengontrol penegak hukum terutama KPK agar segera menindaklanjuti laporan yang telah masuk.
"Tanpa proses hukum maka dugaan atas permainan Bahlil Lahadalia akan terus menjadi simpang siur,” ujarnya.
Menurutnya, Jatam menantang KPK agar kasus tersebut segera diproses.
“Nah, dengan realitas seperti itu mesti tugas DPR mengontrol termasuk mendesak penegak hukum lain agar proaktif,” ucapnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VI Harris Turino mengusulkan pembentukan panitia kerja atau Panja Investasi. Hal ini yang seiring memunculkan permasalahan investasi, terutama di sektor pertambangan.
"Saya usulkan dibentuk Panja agar semua masalah ini dibuat terang," kata Harris saat rapat kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Investasi, Senin, 1 April 2024.
Selain mengusulkan pembentukan Panja Investasi, Harris mencecar Menteri Investasi Bahlil Lahadalia ihwal dugaan permainan izin usaha pertambangan (IUP) yang menyeret namanya. Harris juga meminta Bahlil mengklarifikasi IUP PT Meta Mineral Pradana yang saham mayoritasnya dimiliki oleh PT Papua Bersama Unggul, perusahaan milik Bahlil. IUP PT Meta Mineral Pradana, lanjut Harris, tidak dicabut meski disinyalir tidak ada aktivitas sama sekali di dua IUP perusahaan tersebut.
"Citra satelit yang didapatkan Greenpeace mengonfirmasi hal ini," kata Harris.
Lebih lanjut, Harris mempertanyakan dampak hilirisasi terutama hilirisasi nikel.
"Siapa yang sebenarnya menikmati hilirisasi nikel? Apa pemerintah Indonesia atau investor asing?" tanya Harris.
Bahlil mengkonfirmasi kepemilikan PT Papua Bersama Unggul, perusahaannya, dalam PT Meta Mineral Pradana. Namun, Bahlil berdalih IUP perusahaan tersebut tidak dicabut karena sudah mengajukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan izin tersebut keluar pada 2022.
Sementara itu, pertanyaan dan permintaan klarifikasi Harris yang lain belum terjawab oleh Bahlil lantaran keterbatasan waktu rapat. Namun, Komisi VI telah meminta jawaban tertulis dari Bahlil untuk pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dalam forum tersebut.
Pilihan Editor: Sidang Sengketa Pilpres: Ini yang Ingin Ditanya Timnas Amin kepada 4 Menteri