TEMPO.CO, Jakarta -Jalan buntu perselisihan antara Mitora Pte. Ltd. dengan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dan lima anggota keluarga Presiden Soeharto masih belum menemukan jalan keluar. Perusahaan asal Singapura tersebut menyita aset berupa Museum Purna Bhakti dan Puri Jati Ayu yang berada dalam satu kompleks di areal Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.
Kuasa Hukum Mitora, Leonardus S. Sagala mengatakan, awal mula permasalahan ini adalah perjanjian bisnis antara Mitora dan Yayasan Purna Bhakti serta lima anak Presiden Soeharto. Mulai dari Tutut Soeharto, Bambang Trihatmodjo, Titiek Soeharto, Sigit Harjojudanto, dan Siti Hutami Endang Adiningsih. Yayasan Purna Bhakti sendiri didirikan oleh keluarga Cendana pada masa orde baru.
"Jadi, sebenarnya Mitora itu ada perjanjian dengan (yayasan) Purna Bhakti dan (yayasan) Harapan Kita. Ada perjanjian terpisah dan klien kami juga pernah menggugat Harapan Kita. Sesuai dengan perjanjian, harusnya Taman Mini itu pengelolaannya ada di Mitora, untuk melakukan renovasi dan segala macam," kata Leo kepada Tempo pada Senin, 12 Februari 2024 di Jakarta Pusat.
Namun, kata Leo, poin perjanjian tersebut tidak dipenuhi oleh Yayasan Purna Bhakti dan keluarga Cendana. Hingga akhirnya, Mitora melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 244/Pdt.G/2021/PN JKT.SEL pada 8 Maret 2021.
Di dalam petitum gugatannya, Mitora menuntut sita jaminan atas sebidang tanah seluas kurang lebih 20 hetare dan bangunan yang berdiri di atasnya beserta seluruh isinya ada dan melekat serta menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Itulah Museum Purna Bhakti dan Puri Jati Ayu. "Tetapi karena mereka itu tidak ada niat untuk melaksanakan perjanjian, akhirnya digugat oleh klien kami."
Leo mengatakan, gugatan mereka tersebut berimbas pada pengambilalihan pengelolaan TMII oleh pemerintah. "Setelah gugatan (Mitora) masuk, langsung diambil alih pengelolaan taman itu. Itulah yang jadi awal mula kenapa Taman Mini itu akhirnya diambil alih oleh pemerintah," kata dia.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021, Presiden Joko Widodo meneken keputusan pengambilalihan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita. Berdasarkan catatan Tempo, Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebutkan, pemerintah juga membentuk tim transisi untuk mengkaji pengambilalihan dan rencana pengelolaan kawasan destinasi wisata itu ke depan.
Moeldoko mengungkapkan bahwa ambil alih pengelolaan itu dilakukan sebab TMII terus merugi. Menurut dia, Yayasan Harapan Kita perlu berikan subsidi untuk pengelolaannya sekitar 50 miliar per tahun. "Di dalam pengelolaannya, perlu ada perbaikan, di situ poinnya," katanya pada 9 April 2021.
Setelah pengelolaan TMII diambil alih negara, Mitora sama sekali tidak menerima kompensasi. "Padahal udah ada kerugian," kata Leo.
Executive Assistant Director Mitora, Deny Ade Putera, menambahkan bahwa Mitora masih menempatkan personil keamanan untuk menjaga aset sitaan tersebut hingga kini. Terhitung setelah sembilan tahun sejak tidak beroperasi. "Karena kan sesuai perjanjian itu, kami harus menjaga, kami masih dirugikan. Dari 2014 sampai 2024, jalan 10 tahun, makanya kami gugat. Kami gak menjalankan operasional, tapi kami keluarin uang operasional," ucapnya.
Bergulir sejak 2018
Pada 2018, Mitora telah menggugat keluarga Cendana ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilayangkan kepada lima anak Soeharto dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi serta Yayasan Harapan Kita. Prosesnya ketika itu berakhir dengan mediasi. Leo mengatakan bahwa Ketua Pembina Yayasan Harapan Kita, Soeharjo Soebardi, melalui surat tugasnya menjanjikan akan melunasi pembayaran sesuai dengan tuntutan yang diajukan Mitora.
"Soeharjo menyampaikan bahwa Harapan Kita akan mengambil alih pembayaran kewajiban dari Yayasan Purna Bhakti. Sesuai dengan surat tugas yang pertama dan yang kedua ini, kewajiban Yayasan Purna Bhakti itu ada sekitar kurang lebih Rp 104 miliar yang harus dibayarkan ke pihak Mitora," tutur Leo.
Akhirnya, kata dia, Mitora menyepakati penawaran damai tersebut. CEO Mitora, Andreas Thanos, kemudian menunjuk kuasa hukum untuk melakukan pencabutan gugatan di pengadilan.
"Pertama, mereka menyampaikan bahwa akan membayar terlebih dahulu sebesar Rp 30 miliar. Kemudian, sisanya Rp 74 miliar itu akan dibayar secara bertahap sesuai dengan kesepakatan yang ada di dalam surat tugas, dalam surat pernyataan maupun berita acara yang ditandatangani."
Akan tetapi, janji pembayaran awal sebesar Rp 30 miliar tidak dipenuhi. Mitora harus melakukan berkali-kali penagihan, sampai kemudian dibayar. Pembayaran pertama sebesar Rp 8,16 miliar pada 18 Desember 2018, sedangkan pembayaran kedua sebesar Rp 7,9 miliar pada 2 April 2019.
"Jadi, dalam rentang waktu kurang lebih dua bulan ini, mereka hanya bayar sebesar Rp 16 miliar. Padahal, janjinya di awal kan mereka akan bayar Rp 30 miliar. Nah, berarti ada kekurangan Rp 14 miliar," ujar Leo.
Pada 15 Juli 2019 Mitora kembali menerima pembayaran sebesar Rp 14 miliar. Kesepakatan pembayaran Rp 30 miliar di muka pun beres. Tinggal Rp 74 miliar yang harus dibayar oleh keluarga Cendana. Terakhir, tersisa Rp 34 miliar lagi yang masih menunggak.
"Klien kami berusaha menagih. Setelah ditagih berkali-kali, pembayarannya baru dicicil sedikit-sedikit. Itu pun dalam proses pembayaran ini, klien kami justru diberikan cek kosong senilai Rp 11 miliar."
Bahkan, Mitora sempat dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) atas tuduhan pemerasan dan pengancaman selama retang 2019 sampai 2021. "Sedangkan 2019 kami masih berhubungan baik, bolak-balik ke Jepang untuk pengobatan anaknya Pak Soeharjo," kata Deny.
Hingga kini, Februari 2024, permasalahan ini masih belum menemukan titik terang. Mitora kembali mendaftarkan gugatan kasus wanprestasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas sisa pembayaran yang mandek. Gugatan didaftarkan pada 30 Januari 2024 dan sidang perdana akan digelar pada 20 Februari 2024.
Pilihan Editor: Sosok Connie Bakrie yang Ungkap Perjanjian Prabowo Diganti Gibran setelah Dua Tahun Menjabat