Tulus menyebut, ini karena rokok elektrik menyasar anak-anak lewat media sosial dan influencer. Selain itu, ujar Tulis produk tersebut hadir dalam beragam varian rasa, bahkan menggunakan karakter kartun dan desain yang menarik.
"Padahal WHO mengungkapkan rokok elektronik yang mengandung nikotin sangat membuat ketagihan dan berbahaya bagi kesehatan. Rokok elektronik menghasilkan zat beracun, yang menyebabkan kanker, meningkatkan risiko gangguan jantung dan paru-paru," beber Tulus.
Selain itu, dia menjelaskan, kandungan Glikol pada rokok elektrik akan mengiritasi paru-paru dan mata, serta menimbulkan gangguan saluran pernafasan seperti asma, sesak nafas, hingga obstruksi jalan napas. Sedangkan diasetil atau penambah rasa pada rokel berpotensi menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis.
Tulus melanjutkan, penggunaan rokok elektronik juga dapat mempengaruhi perkembangan otak sehingga memicu gangguan belajar pada remaja. Tak hanya itu, paparan rokok elektrik pada janin dapat berdampak buruk pada perkembangannya.
Dia menuturkan, tak ada bukti ilmiah yang menyatakan rokok elektronik dapat membantu ketergantungan dari penggunaan rokok konvensional. "Justru sebaliknya masyarakat akan tertimpa double burden atau beban kesehatan ganda karena konsumsi rokok eletronik."
Tulus mengklaim, banyak penelitian menunjukkan generasi muda yang menggunakan rokok elektronik hampir tiga kali lebih mungkin untuk menggunakan rokok konvensional pada kemudian hari. Sebaliknya, pengguna rokok konvensional yang mencoba mengonsumsi rokok elektrik, terbukti tidak seratus persen meninggalkan rokok konvensional.
Selanjutnya: "Oleh sebab itu, pengendalian konsumsi dalam bentuk fiskal...."