TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN dan G20 semuanya masih dalam situasi yang lemah. Dia mencontohkan Argentina, saat ini masih dilanda ketidakpastian dengan adanya langkah-langkah dari pemerintahan baru untuk bisa menstabilkan dan menangani krisis ekonomi.
“Indonesia masih termasuk negara yang memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi tertinggi di lingkungan ASEAN dan G20 yaitu di 5 persen,” ujar Sri Mulyani dalam acara Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Desember 2023 di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, pada Jumat, 15 Desember 2023.
Dari sisi kegiatan manufaktur, kata Sri Mulyani, seiring dengan pelemahan ekonomi dunia yang terjadi, 69,6 persen negara-negara berada di zona kontraksi kegiatan manufakturnya. Di dalamnya termasuk negara yang ekonominya besar seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Jepang, dan Korea Selatan.
Bahkan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, serta Vietnam, Purchasing Managers Index (PMI) manufakturnya berada di zona kontraksi. Hanya 30 persen dari negara yang disurvei PMI-nya berada di dalam zona ekspansi termasuk Indonesia.
“Kalau kami lihat Indonesia, terus menerus ada di dalam zona ekspansi yang cukup bertahan semenjak pandemi berakhir,” tutur Sri Mulyani.
Artinya, bendahara negara melanjutkan, banyak negara yang berharap setelah pandemi Covid-19 pulih dan kegiatan manufakturnya tumbuh kuat ternyata tidak. Yang terjadi justru perlemahan kegiatan manufaktur. Jadi dalam konteks ini Indonesia termasuk di dalam kategori ekonomi dan kegiatan manufakturnya resilien. “Tetap bisa bertahan positif dan ekspansif.”
Sri Mulyani mengatakan kondisi perekonomian global masih diliputi ketidakpastian sampai dengan akhir tahun ini. Menurut dia, melihat Amerika Serikat, inflasinya masih tinggi, meskipun kemungkinan pada minggu-minggu ini menunjukkan ada tanda-tanda tingkat suku bunga yang sudah pada titik puncaknya.
Dia menjelaskan, tekanan fiskal di Negeri Paman Sam itu juga masih tinggi, dan excess saving (tabungan berlebih) dari masyarakat Amerika tergerus karena inflasi. Hal itu juga akan membayangi prospek pelemahan ekonomi dari negara yang dipimpin Presiden Joe Biden itu.
“Meskipun mungkin sedikit kabar baiknya Amerika cukup optimis tidak akan mengalami resesi seperti yang tadinya dikhawatirkan pada tahun yang lalu,” ujar Sri Mulyani.
Sementara, kata dia, masih bergulat dengan kondisi pelemahan ekonominya yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Berbagai faktor struktural yang sifatnya jangka menengah seperti demografi, labour aging (tenaga kerja usia lanjut), dan krisis properti masih menjadi faktor pemberat dari perekonomian Cina.
Sedangkan di Eropa, ekonominya sudah melemah cukup tajam. Sri Mulyani mencontohkan Jerman yang bahkan mengalami kontraksi ekonomi. Demikian juga dengan Inggris, yang defisit fiskalnya tinggi, inflasinya—terutama core inflation (inflasi inti)—juga masih tinggi.
“Ini yang menyebabkan Eropa mengalami kondisi tekanan suku bunganya belum menunjukkan tanda-tanda sudah pada titik puncaknya,” ucap Sri Mulyani.
Pilihan Editor: Jokowi Sebut Penambahan Saham Freeport Menunggu Peraturan Pemerintah