TEMPO.CO, Jakarta - Sawit Watch dan Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) mengecam kebijakan pemerintah mengampuni atau melakukan pemutihan terhadap lahan sawit di kawasan hutan. Direktur Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan langkah tersebut dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum.
"Kami menolak proses pemutihan sawit di dalam kawasan hutan. Kebijakan ini dapat menjadi celah bagi perusahaan dalam melakukan pelanggaran serupa di masa depan," kata Achmad lewat keterangannya kepada Tempo, Jumat, 3 November 2023.
Sebagai informasi, pemerintah berencana melakukan pengampunan atau pemutihan lahan sawit di kawasan hutan melalui mekanisme mekanisme Pasal 110A dan 110B Undang-undang atau UU Cipta Kerja. Berdasarkan beleid tersebut, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. Artinya, korporasi bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administratif.
Menurut Achmad, seharusnya proses penyelesaian lahan sawit di kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H). Sebelumnya pada September 2023 lalu, Sawit Watch dan IHCS pun telah mendaftarkan uji materi pasal pemutihan sawit di dalam kawasan hutan ini kepada Mahkamah Agung.
Gugatan materil tersebut, ujar Achmad, merupakan upaya para aktivis untuk memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Namun, ia mengungkapkan hingga saat ini pihaknya belum mendapat kepastian atau hasil akhir atas gugatan yang kami lakukan tersebut.
Achmad pun menilai proses penyelesaian sawit dalam kawasan sangat tertutup dan tidak transparan. Pasalnya, publik tidak diberikan informasi yang cukup untuk mengetahui sejauh mana perkembangan proses ini dalam perang masyarakat sipil melakukan mengawasi atas proses yang berlangsung.
Bahkan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan KLHK ihwal subjek hukum yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan diharapkan menyelesaikan melalui mekanisme Pasal 110 A dan 110 B. Data ini pun tidak dapat diakses oleh publik.
Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) Gunawan menjelaskan, kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum. Hal ini, ujarnya, dapat menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.
Seharusnya, menurut IHCS, pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan tentang perizinan berusaha sebagaimana diatur di dalam UU Cipta Kerja. Ia berpendapat, aturan pelaksanaan lewat mekanisme ini justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat.
Guna mengejar pencapaian perkebunan sawit berkelanjutan, menurutnya, perlu didukung dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satunya dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna. Sehingga, akan menciptakan transformasi sawit di mana perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan, melainkan percepatan penganekaragaman produk olahan sawit.
Adapun batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan telah melewati batas akhir. Menurut amanat Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Penetapan Perpu CK) bahwa pada 2 November 2023 lalu merupakan batas waktu penyelesaian persoalan sawit ilegal dalam kawasan hutan baik melalui dua tipologi 110 A maupun 110 B.
Terkini, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menyatakan bahwa telah teridentifikasi sebanyak 90 persen perusahaan sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan dan sudah mengurus izin. Selain itu diketahui ada sekitar 200.000 hektar sawit illegal berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Konservasi (HK). Pelaku usaha harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan ke negara. Lalu dikembalikan ke negara berdasarkan Pasal 110 B UU Cipta Kerja.
Pilihan Editor: Pemutihan Lahan Sawit di Kawasan Hutan Berpotensi Maladministrasi, Ombudsman Surati Menteri LHK