"Kalau 1 km (garis pantai) kita hasilkan Rp 10 miliar per tahun, sudah berapa ratus miliar atau triliun dolar? Bukan kecil-kecil lagi uangnya," ujar Susi.
Karena itu, Susi tidak setuju dengan pemerintah yang kini justru membuat kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan ini diatur dalam PP Nomor 11 Tahun 2023. Sebagai informasi, dalam aturan itu, pemerintah menetapkan kuota penangkapan ikan di zona penangkapan ikan terukur dalam tiga kategori, yakni kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.
Khusus kuota industri, Menteri Kelautan dan Perikanan memberikannya kepada orang perseorangan dan badan usaha berbadan hukum, berdasarkan permohonan. Adapun badan usaha berbadan hukum yang memanfaatkan kuota industri pada zona 01, zona 02, zona 03, dan zona 04, yakni berupa penanaman modal dalam negeri atau penanaman modal asing. Sedangkan pada zona 05 dan 06 berupa penanaman modal dalam negeri.
Sedangkan untuk kuota nelayan lokal, diberikan pada setiap zona penangkapan ikan terukur hingga 12 mil laut. Kuota ini diberikan gubernur kepada nelayan lokal yang terdiri dari orang perserorangan yang merupakan nelayan kecil dan bukan nelayan kecil, serta badan usaha berbadan hukum, berdassarkan permohonan. Namun nelayan kecil diutamakan yang tergabung dalam koperasi. Sedangkan badan usaha berbadan hukum teridiri dari perseroran terbatas dengan penanaman modal dalam negeri, serta koperasi yang memiliki kegiatan usaha penangkapan ikan.
Padahal menurut Susi, nelayan Indonesia mestinya tidak boleh terbelenggu kavling-kavling atau konsensi-konsensi. Sebab, kata dia, laut adalah rahmat Tuhan untuk bangsa Indonesia.
"Kita bisa jadi bangsa besar, bangsa yang kaya," ucap Susi. "Tapi kalau laut dikavling-kavling seperti tambang, saya pikir kita sudah kehilangan kewarasan."
Pilihan Editor: Promo Tiket Kereta Api Berbagai Jurusan Mulai Rp 150 Ribu, Ini Rute dan Syarat Pembeliannya