TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPK GBK) akan mulai mengosongkan Hotel Sultan di Kawasan GBK, besok Rabu, 4 Oktober 2023. Hal ini seiring habisnya tenggat waktu yang diberikan PPK GBK kepada PT Indobuildco untuk meninggalkan lahan Blok 15 di Kawasan GBK tersebut. Sementara hingga kini, perusahaan milik Pontjo Sutowo itu masih bergeming.
"Pihak PPK GBK akan datang ke Hotel Sultan untuk menyampaikan perihal tersebut pada Hari Rabu, 4 Oktober 2023, pukul 10.00 WIB, kepada manajemen hotel Sultan," demikian informasi yang disampaikan tim public relations PPK GBK kepada Tempo melalui pesan WhatsApp pada Selasa, 3 Oktober 2023.
PPK GBK juga akan memasang spanduk di beberapa titik area tersebut untuk menegaskan bahwa Blok 15 merupakan milik negara.
Sebelumnya, PPK GBK memang sudah meminta PT Indobuildco hengkang dari lahan tempat Hotel Sultan berdiri. Musababnya, lahan tersebut dianggap sebagai aset negara. Sedangkan HGB yang diberikan kepada perusahaan itu masa berlakunya sudah berakhir.
Pemerintah telah memenangkan sengketa. Tercatat, sudah empat kali pemerintah menang Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Ketika PT Indobuildco melanjutkan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pemerintah juga mendapat hasil yang sama.
Soal hak kepemilikan tanah, Kuasa Hukum PPK GBK Chandra Hamzah menjelaskan, negara mendapatkan tanah itu melalui pembebasan lahan lahan pada 1959. Saat itu, pembebasan lahan dilakukan melalui Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG).
"Jadi, sejarahnya, Indonesia menjadi penyelenggara Asian Games. Kemudian, pemerintah mengantisipasi atau merespons hal itu dengan membentuk KUPAG untuk membebaskan tanah," kata Chandra ketika ditemui Tempo di Kantor PPK GBK, Senin sore, 2 Oktober 2023. "Termasuk di dalamnya, tanah yang sekarang berdiri Hotel Sultan."
Pembebasan lahan itu, kata Chandra, dilakukan dengan menggunakan uang negara. Pemerintah yang membayarkan uang tersebut kepada penduduk yang saat itu menjadi pemilik hak. Karena pembebasan itu lah, secara otomatis aset tersebut menjadi milik negara.
Chandra mengakui terbitnya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas lahan tersbut baru dilakukan pada 1989 atau setelah UU Angraria Terbit pada 1960. Namun, secara yuridis, penguasaan tanah tetap ada pada negara karena negara yang mengganti rugi pembebasan tanah tersebut.
"Jadi sejak pembebasan lahan oleh Pemerintah, tanah Gelora bukan lagi tanah negara bebas. Hal ini jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, pasal 11," kata dia.
Poin itulah yang, menurut Chandra, menjadi dasar penguasaan oleh pemerintah atau yang kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan. "Jadi tinggal pengadministrasiannya saja yang belakangan dan SK HPL 1/Gelora telah dinyatakan sah oleh putusan pengadilan, inkracht.”
Pilihan Editor: Dugaan Korupsi Impor Gula, Kejagung Geledah Kantor Kemendag