Pada Kamis, 7 September 2023 sejumlah aparat gabungan TNI dan Polri memaksa masuk ke perkampungan warga di sekitar wilayah Pulau Rempang, Batam.
Kedatangan aparat tersebut adalah guna memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Rencananya, wilayah tersebut akan dibangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata.
Namun, masyarakat adat menolak kedatangan aparat dan melakukan pemblokiran jalan dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.
Hal tersebut membuat aparat kepolisian, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja hingga pengamanan BP Batam mencoba membersihkan pepohonan yang ditebang di jalan.
Tak hanya itu, aparat juga terus merangsek masuk wilayah Rempang dan memukul mundur para warga lewat gas air mata. Bahkan, semburan gas air mata tersebut sampai ke arah sekolah yang membuat para guru berlarian membawa murid-murid pergi melalui pintu belakang sekolah.
Bentrok ini terjadi karena masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Rempang Eco City.
Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu, mereka menolak wilayah tersebut direlokasi.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada Senin, 11 September 2023, sekitar seribuan masyarakat adat Melayu Kepulauan Riau melakukan unjuk rasa di depan kantor BP Batam. Mereka menyampaikan beberapa tuntutannya.
43 orang ditetapkan sebagai tersangka