TEMPO.CO, Jakarta - International Energy Agency (IEA) mengungkapkan, emisi karbon dioksida (CO2) secara global dari sektor energi mencapai rekor tertinggi baru yaitu 37 miliar ton (Gt) pada 2022. Angka ini 1 persen lebh tinggi dibanding level sebelum pandemi.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol menyebut bahwa permintaan batu bara, minyak, dan gas alam akan mencapai puncaknya pada dekade ini. “Meskipun menggembirakan, namun tidak cukup untuk mencapai target iklim 1,5 derajat celcius” kata Fatih dalam keterangan tulis yang diterima TEMPO pada Rabu, 27 September 2023.
Menurutnya, menghilangkan karbon dari atmosfer membutuhkan biaya yang besar. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghentikan hal tersebut.
“Jalur menuju kenaikan suhu 1,5 derajat celcius telah menyempit dalam dua tahun terakhir, namun teknologi energi ramah lingkungan menjaga peluang itu tetap terbuka,” tambah Fatih.
Fatih juga mengapresiasi momunten internasional seperti KTT COP28. Menurutnya, momentum internasional dapat mendukung peningkatan kapasitas energi terbarukan dan efisiensi energi tahun 2030.
“KTT iklim COP28 di Dubai juga menjadi peluang penting untuk berkomitmen terhadap ambisi yang lebih kuat dan implementasinya pada tahun-tahun sisa dekade kritis ini,” ujar Fatih.
Selain itu, IEA melaporkan bahwa pada 2035, emisi harus mengalami penurunan sebesar 80 persen di negara-negara maju, dan 60 persen di negara berkembang dibandingkan dengan tingkat emisi pada 2022.
“Hal yang juga penting, hampir semua negara harus memajukan target tanggal net-zero mereka. Dalam hal ini, termasuk Indonesia yang menargetkan net-zero emission pada 2060,” kata Fatih.
Salah satu peluang berbiaya rendah untuk membatasi pemanasan global dalam waktu dekat adalah mengurangi emisi metana dari sektor energi sebesar 75 persen pada 2030.
“Pengurangan besar-besaran pada emisi CO2 dan metana di sektor energi sangat penting untuk mencapai target 1,5 derajat celcius. Tanpa upaya untuk mengurangi emisi metana dari pasokan bahan bakar fosil, emisi CO2 sektor energi global harus mencapai net-zero sekitar tahun 2045,” kata Fatih.
Menurut laporan IEA, pengurangan emisi metana dari operasi minyak dan gas alam sebesar 75 persen menghabiskan pengeluaran kumulatif sekitar US$ 75 miliar hingga 2030. Hal itu setara dengan 2 persen pendapatan bersih yang diterima industri migas tahun 2022.