TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah tidak mau menerima pinjaman komersial dari skema Just Energi Transition Partnership (JETP) jika bunganya terlalu tinggi. Febrio menuturkan, pemerintah ingin pengurangan emisi karbon dilakukan melalui pendanaan dengan bungah murah dan lebih terjangkau.
"Kita kan punya funding yang lain," ujar Febrio ketika ditemui di sela acara 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exibition di Jakarta Convention Center Senayan Jakarta, Rabu, 20 September 2023. "Kita, Indonesia, adalah negara yang menarik bagi investor dalam maupun luar negeri."
Febrio mengklaim proyek JETP Indonesia menarik dan banyak investor yang ingin masuk. Namun, dia berujar, pemerintah masih memprioritaskan negara-negara yang sudah menyatakan komitmennya untuk berkontribusi alam pembiayaan energi hijau di Indonesia.
Adapun pendananaan transisi energi melalui skema JETP ini disepakati dalam KTT G20 di Bali pada November tahun lalu. Melalui JETP, ada dana US$ 20 miliar yang bakal digunakan untuk transisi energi. Namun, dana hibah dalam skema ini hanya berkisar US$ 160 juta. Selebihnya, berupa pinjaman komersial.
Sebelumnya, peneliti Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Novia Xu menyebut dana hibah JETP itu terlalu rendah. Padahal, dana hibah penting untuk membiayai persiapan proyek transisi energi. Mulai dari studi kelayakan, pelatihan para pekerja, dan berbagai program mitigasi risiko transisi energi yang berkeadilan.
"Dana hibah yang terlalu renah berpotensi memberikan beban pada APBN (anggaran pendapatan belanja negara)," ujar Novia dalam diskusi Risiko dan Tantangan Implementasi JETP yang digelar di Auditoriom CSIS Jakarta, Kamis, 3 Agustus 2023.
Selain dari melalui dana hibah atau pendanaan publik, pendanaan komersial bisa membantu pendanaan transisi energi. Hanya saja, menurut Novia, iklim investasi di Indonesia blum cukup kondusif. Padahal, untuk menarik investor, perlu iklim investasi sektor energi yang mendukung, khususnya pada ketenagalistrikan.
Di samping itu, Novia menuturkan, bank-bank internasional sering melihat Indonesia sebagai negara yang memiliki risiko tertentu untuk berinvestasi. Walhasil, mereka sering memerlukan penjaminan pemerintah sebelum menanamkan modal. Sedangkan Menteri Keuangan, lanjut Novia, telah menyatakan bahwa pemerintah tidak ingin membebani APBN terlalu besar dari kemitraan JETP.
"Akibatnya, meski JETP mampu memobilisasikan pendanaan baru, belum tentu akan disetujui jika pendanaan tersebut dalam bentuk pinjaman yang memerlukan jaminan pemerintah," ujar Novia.
Pilihan editor: Terpopuler: Transisi Energi Negara Maju Hanya Retorika bagi Jokowi, Investasi Cina USD 44,89 M Ditagih