Stafsus Mendag sebut UU Anti Deforestasi gaya perang dagang baru
Di sisi lain, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perdagangan Internasional, Bara Hasibuan, menilai Uni Eropa secara tidak langsung memulai perang dagang baru melalui perspektif lingkungan hidup. Perang dagang baru dilakukan melalui penerbitan UU Anti Deforestasi.
"Seakan-akan negara lain, termasuk Indonesia, tidak memiliki komitmen yang sama atau melakukan hal ril dalam melawan perubahan iklim," tutur Bara dalam forum FoodAgri Insight 'Melawan UU Anti Deforestasi Uni Eropa' di Auditorium Kementerian Perdagangan pada Selasa, 1 Agustus 2023.
Padahal, menurut dia, penyumbang emisi gas rumah kaca justru kebanyakan negara maju. Misalnya, Amerika Serikat, melalui penggunaan kendaraannya.
Pemerintah tegas, tolak dan lawan UU Anti Deforestasi
Pemerintah, kata Bara, bersikap tegas dengan menolak dan melawan UU Anti Deforestasi. Langkah yang diambil, yakni dengan jalur diplomasi. Menurut Bara, kementeriannya selalu menyampaikan keberatan atas kebijakan Uni Eropa tersebut. Selain itu, pemerintah menggalang kekuatan dari negara lain yang termasuk the emerging economic untuk menghadapi kebijakan ini.
"Kalau nantinya harus melakukan gugatan di WTO (World Trade Organization), ya kami siap," ujar Bara.
Dalam perlawanan dan penolakannya terhadap UU Anti Deforestasi Uni Eropa, Zulhas mengatakan pemerintah sudah mengambil berbagai langkah. Terutama melalui forum multilateral.
"Kami aktif sampaikan kekhawatiran akan kebijakan Uni Eropa dan meminta klarifikasi atas aturan Anti Deforestasi," ujar dia.
Selain itu, ia mengatakan pemerintah juga membahas perkara ini di Komite WTO, seperti Komite Pertanian, Komite Perdagangan Barang, Komite Akses Pasar, dan Komite Perdagangan dan Lingkungan. "Kami juga mengambil posisi bersama perwakilan negara lainnya di Brussels," kata dia.
Selebihnya, Zulhas memaparkan, pemerintah bakal mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang terukur.
Uni Eropa pakai standar sendiri
Bara mengatakan pemerintah tidak sepakat dengan UU Anti Deforestasi Uni Eropa lantaran bakal memberi implikasi besar bagi kehidupan rakyat Indonesia, terutama para petani kecil. Termasuk potensi penurunan nilai ekspor ke Uni Eropa. Jika mengacu pada hasil ekspor tahun lalu, setidaknya ada US$ 6,7 miliar yang berpotensi terhambat aturan ini.
Lebih lanjut, Bara menyebut dalam membuat kebijakan ini, Uni Eropa menggunakan perspektif atau standar sendiri. Walhasil, ada kebijakan yang salah sasaran. Misalnya dengan memasukkan kategori kakao sebagai komoditas yang masuk di UU Anti Deforetasi.
"Kokoa ini kan bukan komoditi hutan. Salah sasaran. Kokoa tidak sebabkan deforestasi," ujar Bara. "Uni Eropa dengan kekuatan ekonomi yang lama, income per kapita sangat tinggi, dan kehidupan yang sangat modern, tidak bisa gunakan standar mereka untuk menekan negara lain."