TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menilai Undang-undang Anti Deforestasi yang diterapkan oleh Uni Eropa atau EUDR lebih banyak memberatkan korporasi besar ketimbang Petani.
Menurutnya, kebijakan tersebut justru akan berdampak positif bagi para petani sawit dan masyarakat sekitar perkebunan. Pasalnya ia menilai sudah banyak petani mandiri yang lahannya telah terdata citra satelit, sehingga bisa menjadi modal menghadapi aturan EUDR.
"Justru berat buat korporasi. Kalau buat petani sih mudah. Lahan petani paling cuma 4 hektar doang kok. Tinggal ambil poligon atau titik koordinat, kalau bisa, selesai itu sudah," ucapnya saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat pada Selasa, 18 Juli 2023.
Ia menilai beleid anti deforestasi berpotensi memberikan keuntungan kepada masyarakat dan petani swadaya. Musababnya, EUDR mensyaratkan perusahaan untuk membangun perkebunan plasma sebagai bentuk kewajiban terhadap masyarakat sekitar. Sementara menurut SPKS, baru 20 persen perusahaan yang melakukan pembangunan perkebunan plasma tersebut.
Selain itu, EUDR juga menyarankan ketelusuran atau traceability perusahaan sawit. Darto menilai hal ini merupakan hal positif karena selama ini perusahaan tak transparan soal rantai pasoknya. "Kita tidak pernah tahu dari mana hasil buah yang mereka produksi. Apakah berasal dari lahan kebun deforestasi atau kebun yang legal," tutur Darto.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas mengatakan regulasi yang disahkan Uni Eropa itu membuat pengekspor harus memiliki sertifikat yang menyatakan produk mereka tidak merusak lingkungan.
"Saya kira tidak adil diminta agar kita punya sertifikat, sertifikasi bahwa misal kopi ini tidak merusak lingkungan. Saya bilang bagaimana caranya petani disuruh ngurus surat sertifikasi, surat lingkungan, mustahil," ucapnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI yang disaksikan secara virtual pada Selasa, 6 Juni 2023.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo alias Jokowi pun menilai aturan EUDR mengancam ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia. Jokowi pun mengajak Malaysia untuk melawan aturan yang disebutnya "diskriminasi" terhadap komoditas unggulan dua negara ini.
Adapun Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Keduanya bersama-sama menyumbang sekitar 85 persen dari ekspor minyak sawit global.
“Kerja sama ini perlu kita perkuat. Kita tidak ingin komoditas yang diproduksi Malaysia dan Indonesia didiskriminasikan di negara lain,” kata Jokowi dalam konferensi pers di Kuala Lumpur seusai bertemu Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim awal Juni lalu.
Dalam pernyataan bersama, kedua pemimpin berjanji bekerja sama secara erat untuk mengatasi persoalan ini. Indonesia dan Malaysia mengirim misi bersama ke Brussel minggu lalu terdiri atas pejabat pemerintah senior kedua negara untuk bertemu para pemimpin Uni Eropa guna membahas undang-undang deforestasi.
Pilihan Editor: UU Anti Deforestasi Disebut Hambat Ekspor Komoditas Indonesia, Kemenperin: Dampaknya Tidak Signifikan